sumringahkara.blogspot.com
"Sebatas
mitos yang timbul menjadi cerita, membekas kenangan, melayunya sebuah mimpi.
Mungkin, wayang mengajarkannya hingga tercipta “Kita”. Lantas kamu
memercayainya?"
Terik matahari menyengat kulit putih
langsatku hari itu. Aku berjalan, menghitung tiap baris sepeda tua yang
berjajar di sisi kanan. Di sebuah batu, di bawah pohon rindang, aku mulai
berhenti di situ. Ya, sejenak aku duduk beristirahat, membuka topi lebar berendaku
yang berwarna putih. Ku lap keringat dengan selembar tissue kering yang ku
keluarkan dari tas kulit cokelat yang terselempangi di lengan kanan.
Tenggorokanku
mulai terasa kering. Gerah membuncah suasana yang begitu tak membuat nyaman
tubuh ini. Ku tengok ke sebelah kanan
dan kiri, rupanya tak ada seorang pun yang hilir mudik di dekat tempat
peristirahatan itu. Hormon di dalam ragaku mulai menagih seteguk air segar nan
manis. Tak kusangka, di tempat yang sesepi ini aku menemukan sebuah kelapa
hijau yang telah terkupas, letaknya tak jauh dari batu yang ku duduki, lengkap
dengan sedotan berwarna putih. Ku ambil kelapa muda hijau itu. Ku sedot
sesegera mungkin sari airnya. Penat di tengah panas hari akhirnya lenyap tertelan
bulir-bulir segar kelapa muda yang telah ku minum tadi. Namun setelahnya, hawa
panas mulai menerpaku lagi. Seketika angin dingin menghembus dari arah kiri dudukku.
Dress brookat krem sedengkul ini pun turut bergelombang diterpanya.
Aku
mencari-cari Safea sedari tadi. Kemana ya dia? Di tempat yang seluas ini, aku
sama sekali tak menemukan seorang pun. Kemudian aku terhenyak. Aku baru ingat,
seorang laki-laki itu tak sengaja aku tinggal di depan pelataran museum dekat
pintunya. Rupanya, tak sengaja saat itu juga aku menemukan sosok pria misterius
yang tak ku kenali. Dia membawa banyak gantungan wayang yang beragam.
Sepertinya dia berjualan. Aku tertarik ingin menghampirinya. Karena ia
tersenyum berulang kali ke arahku sambil menunjukkan sebuah gantungan perak
yang ku kenali.
Seorang
paman setengah berumur, senyumnya menarikku untuk berlari mengejar ke arahnya.
Jalannya begitu cepat. Diselingi hilir mudik manusia yang sangat ramai.
Wajah-wajah mereka pun banyak yang ku lihat menyerupai Tuan dan Nyonya-nyonya
Belanda. Oya, aku baru ingat sekarang. Tadi itu sekelilingku tidak sesepi
sekarang, mengapa ya? pada kemana? Paman tua, Safea, dan .. Dias. Ya, lagi-lagi
kini aku seperti baru teringat nama dari sosok laki-laki itu. Seperti berusaha
mengingat, padahal sepertinya juga aku telah mengenal dia lama. Aah.., aku
bingung. Semakin.. dan terus menjadi gelisah. Di tempat seluas itu aku hanya
sendiri, dikelilingi oleh bangunan tua dan bangunan museum peninggalan pada
zaman Belanda.
Aku
takut melangkah. Aku takut harus mengingat dan mencari sosok paman dan
laki-laki yang baru saja tadi.., aku rasa aku mengetahui namanya. Dan entah aku
bisa tahu dari mana. Yang ku rasakan, nama itu begitu saja muncul, ketika aku
mengingat barang jualan yang paman itu bawa. Ya, gantungan wayang!
Setelah
sepersekian menit aku banyak mengingat mundur cerita itu, aku baru merasa benar
harus bisa menemukan mereka. Satu orang temanku, si paman tua, dan sosok
laki-laki yang tidak ku kenal, namun aneh, aku bisa tiba-tiba tahu namanya.
Tunggu! Aku penasaran juga sama salah satu gantungan yang paman itu gunakan sebagai kode untuk menarikku mengikutinya. Dari situ, aku memutuskan untuk mulai melangkah. Mencari jejak yang sama sekali aku buta dibuatnya. Tempat itu, aku tidak tahu jalan di tempat itu. Tapi kurasa, aku pernah menginjakkan kaki di sana. Entahlah, rasanya aku selalu dibuat bingung dalam alur itu.
Tunggu! Aku penasaran juga sama salah satu gantungan yang paman itu gunakan sebagai kode untuk menarikku mengikutinya. Dari situ, aku memutuskan untuk mulai melangkah. Mencari jejak yang sama sekali aku buta dibuatnya. Tempat itu, aku tidak tahu jalan di tempat itu. Tapi kurasa, aku pernah menginjakkan kaki di sana. Entahlah, rasanya aku selalu dibuat bingung dalam alur itu.
Berjalan kurang lebih empat meter ke arah barat dari tempat peristirahatan, sebuah
bangunan mewah nan megah menjulang di hadapanku. Aku tak tahu, mengapa di
tempat itu bisa terdapat bangunan bagus. Padahal sedari aku di situ,
yang ku lihat hanya berjajar bangunan tua dan toko-toko souvernir.
Aku penasaran dibuatnya. Ingin sekali aku masuk ke dalam bangunan itu, mengetahui isi daripadanya. Tiba-tiba seorang anak laki-laki usia 9 tahunan berlarian di sekitarku, dia mencoba mengelilingiku. Anak itu seperti sedang dikejar-kejar oleh seseorang, tapi aku tak sama sekali melihat sosok yang mengejarnya. Dia menyebut-nyebut nama Dias. “Dias..Dias..Dias..Diaaaass….” tidak! Siapa Dias sebenarnya? Mengapa nama itu terus-menerus tumbuh dan menghiasi isi kepalaku? Aku tidak mengetahuinya! Aku tidak mengenalnya! Siapa DIAAAS???!!!
Sosok
anak kecil itu kemudian menarik-narik lengan kananku. Tas yang ku kalungkan di
bahu lengan kanan pun nyaris terlepas. Beberapa langkah aku berhasil
mengikutinya, sampai saja kami terhenti di sebuah museum tua. “Museum Wayang”..
aku membaca tulisan yang bertengger di atas atap bangunan itu. Kuat sekali
rasanya magnet yang menarikku untuk bersegera menelusuri seisinya. Dengan ramah
dan penuh candaan, anak kecil itu mengajakku bermain ke dalam. Menarik-narik
lengan kananku, yang pada akhirnya membawaku bertanya-tanya.
“Dik, nama mu siapa?”
Anak kecil itu hanya berusaha
tersenyum dan tertawa menarik-narik lengan kananku.
Sejenak aku masih menahannya. Ku
ajukan lagi pertanyaan lain, “Dik, kamu kenal seorang yang bernama Dias? Dia
itu siapa ya? kenapa kamu bawa kakak ke sini ?”
“ke sini ka, aku ingin
menunjukkan sesuatu.”
Sepertinya
nama itu yang mendorongku untuk lekas beranjak meninggalkan tempat, kemudian
pergi mengikuti petunjuk anak kecil itu. Aku dibawa masuk ke sebuah ruangan, di
mana banyak wayang-wayang kuno berjajar di samping kanan dan kiriku.
Sebagiannya diletakkan di dalam lemari kaca, beraneka ragam, nyaris berdebu
semua. Ada wayang golek, kulit, atau catur dengan pion-pion antik.
Kemudian kami masuk lagi ke ruangan yang berbeda, menelusuri tangga tua yang terbuat
dari kayu jati, dan di atas sana aku banyak menemukan guci-guci antik yang
padahal aku ingin sekali sejenak meliriknya, memegang, dan mengabadikan
gambarnya. Aku memang wanita penyuka barang-barang antik dan kuno. Tapi sayang, anak kecil itu tampak terburu-buru menuntun jalanku. Dan hari ini
aku tidak mengerti, mengapa aku berada di tempat yang kurasa, aku begitu
mengenalinya.
Sepanjang
perjalanan di lorong itu, akhirnya terdapat pula sebuah jalan keluar. Aku dibawa pada tempat seperti sebuah lantai dasar, aku seperti melihat bayangan
orang-orang yang sedang ramai berkunjung, melihat-lihat keadaan sekitar, dan
ada juga yang terlihat sedang melihat-lihat ragam karya seni wayang yang di
jual di lemari kaca, dan etalase yang melingkar. Sosok penjaganya…, ah aku
sepertinya kenal. Uum, ya aku ingat! Dia
paman yang tadi tersenyum seakan mengajakku untuk mengikutinya, ah tapi kenapa
terlihat lebih muda? Wajah sang paman terlihat putih, bermata sipit, mengenakan
kemeja putih dan bawahan celana hitam yang rapi. Sepertinya dia petugas di
situ.
Sejenak
aku memerhatikan apa yang terjadi di hadapan ku dari atas tempatku berdiri. Ku
tengok ke samping dan belakang, anak kecil itu hilang. Akhirnya ku pusatkan lagi pandangan ke arah depan. Aku melihat jelas, sosok laki-laki berkaus
putih oblong dengan jeans hitam dan berselempang tas kecil. Dia tidak sendiri,
ada dua orang perempuan yang menemaninya.
Seseorang
terlihat lebih pendek, berkaus polo merah dan tas selempang berwarna hijau
army. Sedangkan sosok perempuan lainnya, ah? Tidakkah aku bisa melihat wujud
yang serupa denganku? Pakaian yang sama, topi renda yang sama, semuanya sama.
Sedang apa sih mereka?
Tiga
orang itu menyinggahi tempat si paman sipit yang menjaga barang-barangnya.
Kelihatannya meraka tertarik untuk membeli. Seorang perempuan yang mirip
denganku berusaha memilih-milih gantungan wayang dengan seorang teman perempuan
di sebelahnya. Sosok laki-laki berkaus putih itu, sepertinya juga. Tapi dia
lebih sibuk dengan ponsel genggamnya.
Hem, paman itu ternyata memang benar ramah ya?, banyak tersenyum. Rupanya
dia juga banyak menjelaskan berbagai macam gantungan yang dijualnya. Aku
melihat memang gantungan itu bagus dan keren-keren. Ada yang terbuat dari kayu,
boneka kayu berukuran sedang, perak, atau pulpen yang dibuat mirip seperti
sebuah wayang. Ketertarikan ini semakin menjadi, aku ingin berusaha lebih dekat
melihatnya. Tapi lagi-lagi aku takut bergerak dan melangkah. Dari jarak sekian
meter, aku masih sanggup mendengar celoteh mereka.
Oh,
itu namanya wayang Kamajaya. Perempuan yang mirip denganku itu sedang
memegangnya, mungkinkah dia ingin membelinya?, dua orang temannya pun begitu,
masing-masing memegang wayang yang merupakan hasil dari pilihan si Paman
tersebut. Aku mendengarnya sekali lagi. Paman itu nampak tengah menjelaskan
sesuatu.
“Silakan
dipilih.. ini ada wayang Kamajaya, yang ini Hanoman, dan kalau yang kamu pegang
ini namanya wayang …..”
“Yang mana ya saf, gue bingung nih.
Bagus semua.. tapi ukurannya ko kecil ya paman? Harganya berapa barusan?”
“Lima
belas ribu. Itu kan terbuat dari perak aseli dek. Sulit membuatnya, karena itu
perak aseli langsung dipahat. Lihatlah ukiran daripada bentuknya, detail dan sempurna.”
“iya keren ini Ren, unik sih ya.
ah mau gue jadiin gantungan aja kali ya? haha”
“iya
bener tuh Saf, bagus dijadiin kalung. Satuin sama cincin yang dari cowok lo
itu..”
“yah, Yas.. udah kemana tau
cincinnya. Lo aja tuh, buat kado ulang tahunnya Tantri.”
“Yang
ini namanya apa Pak?”
“Kamajaya
itu dek. Nah, cocoknya sama yang Hanoman kalau itu.”
“Lah
ko begitu?”
“Iya,
Kamajaya sama Hanoman ini kalau disatukan seperti akan mendekatkan yang jauh,
dan membuat yang dekat semakin dekat. Bisa jadi pasangan. Kalian?,, “
“Hah?
bukan Pak. Kami bertiga teman. Gak ada yang pasangan.”
“Oh,
Paman kira kamu dengan dia.”
Aku
semakin mengerutkan dahi. Percakapan itu
seperti menarikku pada masa yang tak seharusnya ku ingat. Apa benar aku yang
mengalami kisahnya? Perempuan yang mirip denganku dipanggil temannya dengan
sebutan “Ren” ? Ren… na, I..ren, atau Shiren? Eh, apa jangan-jangan namanya
juga sama denganku. “Ren-ne..”, ah aku masih saja menduga-duga. Kenapa banyak
kata bingung yang ku rasakan? Mengapa beberapa kejadian yang tengah ku lihat
itu seperti aku sendiri yang melakoninya? Dan lagi, itu Safea kan? Dan, sosok
Dias? Apa Dias itu yang sedang aku cari juga? Apa dia, Dias yang baru aku
tinggal tadi untuk mengajar seorang paman yang juga kini berada di hadapan ku? Mengapa wajahnya berbeda?
Wayang.
Kamajaya. Hanoman? Kenapa rasanya nyaris tak asing kata-kata itu di telinga dan
memoriku. Tak lama dari situ, seorang anak laki-laki yang lama sedari tadi
menghilang itu kembali ada di belakangku. Dia menolehku dan memberikan sesuatu,
“kakak, ini buatmu.”
Aku
menerimanya, dan ku perhatikan benda itu dengan seksama. Itu.. ii.. itu.., itu
gantungan! Ya, gantungan Hanoman dan Kamajaya seperti yang ku kenali.
“Hei
dik! Kamu dapat ini dari mana? .. Dik..! dik…! Tunggu …!!”
Teriakkanku seperti tak
dihiraukannya, dia pergi begitu saja. Di situ aku mulai berusaha mengingat
maksimal. Itu gantungan wayang perak, Hanoman. Sekejap itu pandangan di
sekelilingku tampak kabur dan gelap. Sulit untuk aku bernapas, terlalu pekat.
Aku berlari sedemikian sergap untuk mencari pintu keluarnya. Namun semua
ruangan tertutup. Tak ada satupun celah yang menunjukkan jalan. Desah napasku
semakin gelisah. Dan, sosok anak kecil itu tiba-tiba datang, kembali
menuntunku.
Setengah
lelah. Tiba-tiba aku terbangun. Ku lirik jam wekker di samping meja riasku,
masih pukul dua dini hari. Saat itu pula aku sadar, semua alur yang ku alami
tadi itu hanya mimpi. Rekaman otakku langsung teringat pada Dias. Benarkah Itu Dias?
Tuhan, mengapa aku di bawa lagi ke tempat itu? Aku membingungkan suatu hal yang
padahal aku mengetahuinya.
“Satu
hal tentang mimpi itu. Mengapa anak kecil itu bisa memberikanku sepasang
gantungan yang lama sudah terpisah. Bahkan, Hanoman pun telah tiada. Menghilang
bersamanya. Dias.”
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar