Kamis, 20 Maret 2014

Hanoman - Kamajaya [versi story]


 sumringahkara.blogspot.com




"Sebatas mitos yang timbul menjadi cerita, membekas kenangan, melayunya sebuah mimpi. Mungkin, wayang mengajarkannya hingga tercipta “Kita”. Lantas kamu memercayainya?"


           Terik matahari menyengat kulit putih langsatku hari itu. Aku berjalan, menghitung tiap baris sepeda tua yang berjajar di sisi kanan. Di sebuah batu, di bawah pohon rindang, aku mulai berhenti di situ. Ya, sejenak aku duduk beristirahat, membuka topi lebar berendaku yang berwarna putih. Ku lap keringat dengan selembar tissue kering yang ku keluarkan dari tas kulit cokelat yang terselempangi di lengan kanan. 
 
            Tenggorokanku mulai terasa kering. Gerah membuncah suasana yang begitu tak membuat nyaman tubuh ini. Ku tengok  ke sebelah kanan dan kiri, rupanya tak ada seorang pun yang hilir mudik di dekat tempat peristirahatan itu. Hormon di dalam ragaku mulai menagih seteguk air segar nan manis. Tak kusangka, di tempat yang sesepi ini aku menemukan sebuah kelapa hijau yang telah terkupas, letaknya tak jauh dari batu yang ku duduki, lengkap dengan sedotan berwarna putih. Ku ambil kelapa muda hijau itu. Ku sedot sesegera mungkin sari airnya. Penat di tengah panas hari akhirnya lenyap tertelan bulir-bulir segar kelapa muda yang telah ku minum tadi. Namun setelahnya, hawa panas mulai menerpaku lagi. Seketika angin dingin menghembus dari arah kiri dudukku. Dress brookat krem sedengkul ini pun turut bergelombang diterpanya.

            Aku mencari-cari Safea sedari tadi. Kemana ya dia? Di tempat yang seluas ini, aku sama sekali tak menemukan seorang pun. Kemudian aku terhenyak. Aku baru ingat, seorang laki-laki itu tak sengaja aku tinggal di depan pelataran museum dekat pintunya. Rupanya, tak sengaja saat itu juga aku menemukan sosok pria misterius yang tak ku kenali. Dia membawa banyak gantungan wayang yang beragam. Sepertinya dia berjualan. Aku tertarik ingin menghampirinya. Karena ia tersenyum berulang kali ke arahku sambil menunjukkan sebuah gantungan perak yang ku kenali. 

           Seorang paman setengah berumur, senyumnya menarikku untuk berlari mengejar ke arahnya. Jalannya begitu cepat. Diselingi hilir mudik manusia yang sangat ramai. Wajah-wajah mereka pun banyak yang ku lihat menyerupai Tuan dan Nyonya-nyonya Belanda. Oya, aku baru ingat sekarang. Tadi itu sekelilingku tidak sesepi sekarang, mengapa ya? pada kemana? Paman tua, Safea, dan .. Dias. Ya, lagi-lagi kini aku seperti baru teringat nama dari sosok laki-laki itu. Seperti berusaha mengingat, padahal sepertinya juga aku telah mengenal dia lama. Aah.., aku bingung. Semakin.. dan terus menjadi gelisah. Di tempat seluas itu aku hanya sendiri, dikelilingi oleh bangunan tua dan bangunan museum peninggalan pada zaman Belanda.

         Aku takut melangkah. Aku takut harus mengingat dan mencari sosok paman dan laki-laki yang baru saja tadi.., aku rasa aku mengetahui namanya. Dan entah aku bisa tahu dari mana. Yang ku rasakan, nama itu begitu saja muncul, ketika aku mengingat barang jualan yang paman itu bawa. Ya, gantungan wayang!

          Setelah sepersekian menit aku banyak mengingat mundur cerita itu, aku baru merasa benar harus bisa menemukan mereka. Satu orang temanku, si paman tua, dan sosok laki-laki yang tidak ku kenal, namun aneh, aku bisa tiba-tiba tahu namanya.
Tunggu! Aku penasaran juga sama salah satu gantungan yang paman itu gunakan sebagai kode untuk menarikku mengikutinya. Dari situ, aku memutuskan untuk mulai melangkah. Mencari jejak yang sama sekali aku buta dibuatnya. Tempat itu, aku tidak tahu jalan di tempat itu. Tapi kurasa, aku pernah menginjakkan kaki di sana. Entahlah, rasanya aku selalu dibuat bingung dalam alur itu.

            Berjalan kurang lebih empat meter ke arah barat dari tempat peristirahatan, sebuah bangunan mewah nan megah menjulang di hadapanku. Aku tak tahu, mengapa di tempat itu bisa terdapat bangunan bagus. Padahal sedari aku di situ, yang ku lihat hanya berjajar bangunan tua dan toko-toko souvernir.

         Aku penasaran dibuatnya. Ingin sekali aku masuk ke dalam bangunan itu, mengetahui isi daripadanya. Tiba-tiba seorang anak laki-laki usia 9 tahunan berlarian di sekitarku, dia mencoba mengelilingiku. Anak itu seperti sedang dikejar-kejar oleh seseorang, tapi aku tak sama sekali melihat sosok yang mengejarnya. Dia menyebut-nyebut nama Dias. “Dias..Dias..Dias..Diaaaass….” tidak! Siapa Dias sebenarnya? Mengapa nama itu terus-menerus tumbuh dan menghiasi isi kepalaku? Aku tidak mengetahuinya! Aku tidak mengenalnya! Siapa DIAAAS???!!!

          Sosok anak kecil itu kemudian menarik-narik lengan kananku. Tas yang ku kalungkan di bahu lengan kanan pun nyaris terlepas. Beberapa langkah aku berhasil mengikutinya, sampai saja kami terhenti di sebuah museum tua. “Museum Wayang”.. aku membaca tulisan yang bertengger di atas atap bangunan itu. Kuat sekali rasanya magnet yang menarikku untuk bersegera menelusuri seisinya. Dengan ramah dan penuh candaan, anak kecil itu mengajakku bermain ke dalam. Menarik-narik lengan kananku, yang pada akhirnya membawaku bertanya-tanya.

“Dik, nama mu siapa?”
Anak kecil itu hanya berusaha tersenyum dan tertawa menarik-narik lengan kananku.
Sejenak aku masih menahannya. Ku ajukan lagi pertanyaan lain, “Dik, kamu kenal seorang yang bernama Dias? Dia itu siapa ya? kenapa kamu bawa kakak ke sini ?”
“ke sini ka, aku ingin menunjukkan sesuatu.”




             
               world-spy.blogspot.com

            Sepertinya nama itu yang mendorongku untuk lekas beranjak meninggalkan tempat, kemudian pergi mengikuti petunjuk anak kecil itu. Aku dibawa masuk ke sebuah ruangan, di mana banyak wayang-wayang kuno berjajar di samping kanan dan kiriku. Sebagiannya diletakkan di dalam lemari kaca, beraneka ragam, nyaris berdebu semua. Ada wayang golek, kulit, atau catur dengan pion-pion antik.

          Kemudian kami masuk lagi ke ruangan yang berbeda, menelusuri tangga tua yang terbuat dari kayu jati, dan di atas sana aku banyak menemukan guci-guci antik yang padahal aku ingin sekali sejenak meliriknya, memegang, dan mengabadikan gambarnya. Aku memang wanita penyuka barang-barang antik dan kuno. Tapi sayang, anak kecil itu tampak terburu-buru menuntun jalanku. Dan hari ini aku tidak mengerti, mengapa aku berada di tempat yang kurasa, aku begitu mengenalinya.

            Sepanjang perjalanan di lorong itu, akhirnya terdapat pula sebuah jalan keluar. Aku dibawa pada tempat seperti sebuah lantai dasar, aku seperti melihat bayangan orang-orang yang sedang ramai berkunjung, melihat-lihat keadaan sekitar, dan ada juga yang terlihat sedang melihat-lihat ragam karya seni wayang yang di jual di lemari kaca, dan etalase yang melingkar. Sosok penjaganya…, ah aku sepertinya kenal. Uum, ya aku ingat!  Dia paman yang tadi tersenyum seakan mengajakku untuk mengikutinya, ah tapi kenapa terlihat lebih muda? Wajah sang paman terlihat putih, bermata sipit, mengenakan kemeja putih dan bawahan celana hitam yang rapi. Sepertinya dia petugas di situ.

            Sejenak aku memerhatikan apa yang terjadi di hadapan ku dari atas tempatku berdiri. Ku tengok ke samping dan belakang, anak kecil itu hilang. Akhirnya ku pusatkan lagi pandangan ke arah depan. Aku melihat jelas, sosok laki-laki berkaus putih oblong dengan jeans hitam dan berselempang tas kecil. Dia tidak sendiri, ada dua orang perempuan yang menemaninya. 

            Seseorang terlihat lebih pendek, berkaus polo merah dan tas selempang berwarna hijau army. Sedangkan sosok perempuan lainnya, ah? Tidakkah aku bisa melihat wujud yang serupa denganku? Pakaian yang sama, topi renda yang sama, semuanya sama. Sedang apa sih mereka?

             Tiga orang itu menyinggahi tempat si paman sipit yang menjaga barang-barangnya. Kelihatannya meraka tertarik untuk membeli. Seorang perempuan yang mirip denganku berusaha memilih-milih gantungan wayang dengan seorang teman perempuan di sebelahnya. Sosok laki-laki berkaus putih itu, sepertinya juga. Tapi dia lebih sibuk dengan ponsel genggamnya.  Hem, paman itu ternyata memang benar ramah ya?, banyak tersenyum. Rupanya dia juga banyak menjelaskan berbagai macam gantungan yang dijualnya. Aku melihat memang gantungan itu bagus dan keren-keren. Ada yang terbuat dari kayu, boneka kayu berukuran sedang, perak, atau pulpen yang dibuat mirip seperti sebuah wayang. Ketertarikan ini semakin menjadi, aku ingin berusaha lebih dekat melihatnya. Tapi lagi-lagi aku takut bergerak dan melangkah. Dari jarak sekian meter, aku masih sanggup mendengar celoteh mereka.

            Oh, itu namanya wayang Kamajaya. Perempuan yang mirip denganku itu sedang memegangnya, mungkinkah dia ingin membelinya?, dua orang temannya pun begitu, masing-masing memegang wayang yang merupakan hasil dari pilihan si Paman tersebut. Aku mendengarnya sekali lagi. Paman itu nampak tengah menjelaskan sesuatu.

            “Silakan dipilih.. ini ada wayang Kamajaya, yang ini Hanoman, dan kalau yang kamu pegang ini namanya wayang …..”
        “Yang mana ya saf, gue bingung nih. Bagus semua.. tapi ukurannya ko kecil ya paman? Harganya berapa barusan?”
            “Lima belas ribu. Itu kan terbuat dari perak aseli dek. Sulit membuatnya, karena itu perak aseli langsung dipahat. Lihatlah ukiran daripada bentuknya, detail dan sempurna.”
            “iya keren ini Ren, unik sih ya. ah mau gue jadiin gantungan aja kali ya? haha”
           “iya bener tuh Saf, bagus dijadiin kalung. Satuin sama cincin yang dari cowok lo itu..”
“yah, Yas.. udah kemana tau cincinnya. Lo aja tuh, buat kado ulang tahunnya Tantri.”
            “Yang ini namanya apa Pak?”
            “Kamajaya itu dek. Nah, cocoknya sama yang Hanoman kalau itu.”
            “Lah ko begitu?”
            “Iya, Kamajaya sama Hanoman ini kalau disatukan seperti akan mendekatkan yang jauh, dan membuat yang dekat semakin dekat. Bisa jadi pasangan. Kalian?,, “
              “Hah? bukan Pak. Kami bertiga teman. Gak ada yang pasangan.”
            “Oh, Paman kira kamu dengan dia.”

          Aku semakin mengerutkan dahi. Percakapan itu seperti menarikku pada masa yang tak seharusnya ku ingat. Apa benar aku yang mengalami kisahnya? Perempuan yang mirip denganku dipanggil temannya dengan sebutan “Ren” ?  Ren… na, I..ren, atau Shiren? Eh, apa jangan-jangan namanya juga sama denganku. “Ren-ne..”, ah aku masih saja menduga-duga. Kenapa banyak kata bingung yang ku rasakan? Mengapa beberapa kejadian yang tengah ku lihat itu seperti aku sendiri yang melakoninya? Dan lagi, itu Safea kan? Dan, sosok Dias? Apa Dias itu yang sedang aku cari juga? Apa dia, Dias yang baru aku tinggal tadi untuk mengajar seorang paman yang juga kini berada di hadapan ku? Mengapa wajahnya berbeda?

       Wayang. Kamajaya. Hanoman? Kenapa rasanya nyaris tak asing kata-kata itu di telinga dan memoriku. Tak lama dari situ, seorang anak laki-laki yang lama sedari tadi menghilang itu kembali ada di belakangku. Dia menolehku dan memberikan sesuatu,
“kakak, ini buatmu.”

       Aku menerimanya, dan ku perhatikan benda itu dengan seksama. Itu.. ii.. itu.., itu gantungan! Ya, gantungan Hanoman dan Kamajaya seperti yang ku kenali.
          “Hei dik! Kamu dapat ini dari mana? .. Dik..! dik…! Tunggu …!!”
Teriakkanku seperti tak dihiraukannya, dia pergi begitu saja. Di situ aku mulai berusaha mengingat maksimal. Itu gantungan wayang perak, Hanoman. Sekejap itu pandangan di sekelilingku tampak kabur dan gelap. Sulit untuk aku bernapas, terlalu pekat. Aku berlari sedemikian sergap untuk mencari pintu keluarnya. Namun semua ruangan tertutup. Tak ada satupun celah yang menunjukkan jalan. Desah napasku semakin gelisah. Dan, sosok anak kecil itu tiba-tiba datang, kembali menuntunku.

            Setengah lelah. Tiba-tiba aku terbangun. Ku lirik jam wekker di samping meja riasku, masih pukul dua dini hari. Saat itu pula aku sadar, semua alur yang ku alami tadi itu hanya mimpi. Rekaman otakku langsung teringat pada Dias. Benarkah Itu Dias? Tuhan, mengapa aku di bawa lagi ke tempat itu? Aku membingungkan suatu hal yang padahal aku mengetahuinya.

“Satu hal tentang mimpi itu. Mengapa anak kecil itu bisa memberikanku sepasang gantungan yang lama sudah terpisah. Bahkan, Hanoman pun telah tiada. Menghilang bersamanya. Dias.”

* * *

Tidak ada komentar:

My inspiration..,

My inspiration..,

Blogger templates

Free Bunny Carrot MySpace Cursors at www.totallyfreecursors.com

Pages - Menu

 

Copyright 2010 Beranda Senja.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.