Selasa, 31 Desember 2013

Enigma Love from Jambi



    Langkah penghujung tahun kali ini terasa berbeda untuknya. Kini ia harus meninggalkan ‘Kota Hujan’ menuju daerah yang sama sekali belum dikunjunginya. Karina Andi Pramudya, namanya terpilih seleksi sebagai pengajar muda di kota Jambi. Menjadi pengajar muda dan bertemu dengan pangerannya di tanah Sumatera begitu terpandang klise. Ya, harapannya sesuatu itu kelak menjadi kado terindah tepat pada hari ulang tahunnya yang ke-26, bertepatan akhir tahun.

 
     Semua perlengkapan sudah dikemas dengan baik. Tak ketinggalan dua gadget yang paling dibutuhkannya, handphone dan laptop. Dua buah benda itu memang tak bisa lepas dari kebutuhan manusia. Begitupun dengan Karin, dua benda itu akan sangat membantu dan mempermudah pekerjaannya di sana. Walaupun, entahlah  jaringan sinyal di sana bisa bersahabat baik atau tidak. Oh, ya masih ada satu barang antik yang selalu jadi teman tengah malamnya, radio mini klasik. Jangan tanyakan kenapa benda itu tak pernah bisa dijauhkan darinya. Selain karena hobi mendengarkan radio, sosok pria dibalik benda itu pun masih enggan dilupakan olehnya. Seseorang yang tinggal membekas di masanya. Pergi menghilang, menggantungkan tanda tanya yang sulit ditebak. Setelah kenal dekat, mereka berpisah empat tahun lamanya. Kemudian dipertemukan lagi di fakultas yang sama, namun akhirnya mereka kembali berpisah. Sepotong cerita di depan sana mengharuskan mereka untuk memilih jalannya. Walau jarak masih tetap sama, menumbuhkan arti yang tak biasa, semakin dimatikan, semakin pula ia tumbuh. Karin tak ingin banyak menduga.  Dia sudah cukup lelah. Melepaskan mungkin jalan yang terbaik. 
       Derap waktu begitu cepat. Ini merupakan detik yang tak diharap,  meresapi atmosfer kamar serta sejuk udara kota Bogor, dan akan menjadi pertemuan terakhirnya dengan Tama. Tama itu sepupu sekaligus teman curhat buat Karin. Dia anak dari kakak laki-laki Tante Dinar, Bundanya Karin. Sudah hampir tiga tahun ia tinggal bersama keluarga Tante Dinar. Berawal sejak Tante Firda (Ibunya Tama) pindah ke kota Manado karena penugasan proyek besar suaminya, Om Yulant. Tante Firda memang selalu ikut kemana suaminya bertugas. Berhubung pula anak-anaknya sudah cukup dewasa, sehingga Tante Firda lebih leluasa lagi menitipkan anak bungsunya itu kepada Tante Dinar, adik perempuan Om Yulant.
“Bun, Karin pergi dulu ya..Maafin Karin harus pergi ninggalin Ayah dan Bunda. Doa’in Karin ya buun.. biar di sana dipermudah, dilancarkan, dan bisa menebar manfaat.”, begitu saja kata-kata itu mengalir, terucap seiring anak sungai itu meleleh, melebur haru bersama kedua orang yang teramat dicintainya itu.
“Ya geulis, sing bageur, sing cageur atuh lah. Hati-hati ya, jaga kesehatannya. Bunda yakin kamu bisa membawa kebaikan untuk anak-anak di sana. Tam, antarkan Karin ya sampai bandara. Kalian baik-baik di jalan.”, pesan Bunda dengan sedikit dialek sundanya.
“Iya tan, siap. Karin pasti aman deh. Kan ada Tama, hehe.”, ucapannya seolah mengunggah ketenangan tante Dinar.  “Oke, Kar kita siap berangkat nih?”, pertanyaan itu hanya dijawabnya dengan senyum yang tak terelakan, namun tersimpan keyakinan, ia pasti kembali ke Kota Hujan ini dengan selamat dan kebanggaan untuk orang tuanya.
       Selama di perjalanan menuju bandara tak ada yang dikerjakan Karin selain membaca koran, majalah, dan mendengarkan radio. Perempuan yang satu itu memang terbilang news papper addict. Semua Koran hasil langganan di rumahnya tidak pernah dijual ke tukang loak, tetapi ia tumpuk di tempat khusus, dan beberapa ada yang dijadikan kliping olehnya. Karin tergolong wanita yang cuek, tertutup akan perasaan, namun sekalinya ia menemukan orang yang tepat, dia tak akan henti bercerita mengenai masalah pribadinya. Keceriaan sosoknya mampu memesona pria yang kini duduk di sampingnya. Setelah lama tinggal seatap dengan Karin, hanya perempuan itu yang dianggap sanggup merebut perhatiannya. Tama memang tipe cowok yang agak cuek dan dingin. Tapi itu dulu, sejak awal-awal ia datang ke rumah Karin. Sekarang setelah bertemu dan kenal dekat, Tama pun menjadi sosok yang hangat. Tingkat kebawelannya pun melebihi dari Karin kalau sedang bercerita.
“Karin, lo gak ngantuk? gak capek apa baca terus? mending istirahatin mata  tuh, dari semalem lo begadang kan?, terus baru ketiduran deh tuh jam 3 pagi”
“Hah? ko tau? lo ngintip yaah?”
“Dih, enggak. Siapa yang ngintip? Ngapain..lagi, kerajinan! Kamar lo itu kan sebelahan sama gue, ya kedengeran laah. Lo gak nyadar apa nyetel radio sampe dini hari, sampe radio soak lo itu menghasilkan suara yang bikin gue susah tidur. Yauda akhirnya mau gak mau, gue masuk kamar lo. Gue matiin deh si butut lo itu.”, sebenarnya bukan juga karena terganggu, tapi Tama sedikit kesal harus mendengar Karin terus lengket sama radio itu.
“Aah udah diem deh. Mendingan gue tidur, Okeeeey??!”, pungkas Karin menutup percakapan itu dengan nada kesal, menutup wajahnya dengan majalah kemudian memutuskan untuk tidur.
Perjalanan mereka sudah semakin dekat ke bandara, namun Tama singgah sejenak di tempat peristirahatan untuk makan siang dan membeli minuman. Dia keluar sendirian tanpa membangunkan perempuan yang duduk di jok depan mobilnya itu. Perempuan itu kelihatannya pulas sekali, sampai majalah yang dipakai untuk menutupi wajah kesalnya itu terjatuh, yang kemudian diambil dan disimpan oleh Tama di jok belakang.
        Beberapa menit setelah Tama keluar, Karin pun terbangun. Silau matahari mengganggu pejaman tidurnya. Dalam keadaan setengah sadar, ia mencoba mengumpulkan nyawa dan mulai mencari sosok bertubuh atletis dan berkulit hitam manis yang sepanjang jalan tadi duduk bersebelahan menjadi sopir seharinya. Tak tahan berlama-lama sendiri di dalam, perempuan itu memutuskan untuk keluar mencari Tama. Karena bingung, Karin mencoba menelepon Tama untuk menanyakan keberadaanya. Ia menunggu nomor ponselnya terhubung dengan pria itu. Mondar-mandir tak jelas ia dibuatnya, nada yang terdengar di seberang sana tak menandakan sedikit pun bahwa teleponnya tersambungkan. 

        Dengan memberanikan diri, Karin mencoba berjalan ke arah sebuah rumah makan yang tak jauh dari parkiran di pom bensin dari tempatnya berdiri. Setelah mendapati posisi yang nyaman di dalam, Karin pun duduk. Kembali ia menghubungi Tama lewat SMS.
Tak lama, sosok pria yang dicarinya itu datang dari belakang menghampiri tempat duduk Karin. “Heh ngapain lo di sini?”, Tama bertanya tanpa merasa bersalah.
“Hah? Apa? lo bilang ngapain gue di sini? Gue nyariin lo, puas?!”
“Haha? nyariin? tumben banget.”
“Udah deh Tam, jangan bikin tambah unmood, eh.. lapeer nih..”, raut marah Karin seketika berubah manja.
“Hem, mulai kan giliran ada maunya aja. Tenang, udah dipesenin ko. Makanya gue sengaja istirahat, gue tau lo udah kelaperan.” Tak lama kemudian seorang pria lengkap berseragam kaos hijau, celana hitam, bertopi cokelat mengantarkan makanan, “Permisi mas, mbak, ini pesanannya.”
“Oh, iya terima kasih mas.”
Tengah hari itu mereka manfaatkan bersama, sebelum Karin benar-benar pergi ke Jambi. Mungkin itu makan siang bersama terakhir, lengkap tanpa Ayah dan Bunda.
***

       Ini merupakan hari keduanya. Ia ditempatkan di sebuah rumah yang memang dikhususkan bagi pengajar muda yang tersebar di berbagai pelosok. Mendapati tugas di Kota Jambi namun terpelosok, dijadikan suatu tantangan baru bagi wanita usia 25 tahun itu. Sebuah awal yang tidak terlalu buruk tinggal di sana baginya. Ia tidak perlu repot mencari makanan ketika lapar menyerang malam-malam, kebetulan tempat tinggalnya bersebelahan dengan rumah seorang Ibu paruh baya penjual nasi bungkus, namanya Bu Sum. Dia memang bukan penduduk asli Jambi, ia hanya pendatang dari Jawa Tengah. Karin pun merasa sangat beruntung.  Karena di desa itu sulit sekali mencari warung, kalau pun ada, mereka yang tinggal di sana harus sabar menempuh jarak yang lumayan jauh, melintasi sungai perbatasan desa, dan perkebunan. 
      Sambil mengetik tugas jurnal, Karin coba memutar radio klasik kesayangannya. Berharap di daerahnya itu, radio mini pemberian Bian bisa menangkap sebuah saluran gelombang. Di saat begitu, hanya radio klasik itu yang menjadi satu-satunya benda penghilang rasa jenuh. Jangan berharap lebih untuk bisa surfing internet, ber-sms ria dengan Ayah, Bunda atau sahabatnya di Bogor. Untuk memenuhi bahan tugasnya saja, sebisa mungkin Karin manfaatkan waktu ketika berada di sekolah tempatnya mengajar. Karena di sana daerahnya sudah agak keluar perkampungan, tepatnya di pinggiran kota, dan di sana jaringan internet pun sudah terpasang.
      Menjalani tugasnya sebagai pengajar di Sekolah Dasar Pelita Harapan 1 Jambi, membuat ia keasyikan menikmati profesi barunya itu. Pada usianya yang terbilang lebih dari cukup untuk menikah, namun keputusan perempuan itu berkata lain, ia lebih memilih untuk terus belajar dan mempersiapkan diri, terutama impiannya sejak di bangku kuliah bisa menjadi pengajar muda di usia nya yang ke-25. Ayah sering mengingatkan anak semata wayangnya itu untuk segera menikah. Tapi sisi cuek Karin seolah mengabaikan kodrat seorang wanita yang menuntutnya untuk segera menikah, dan memberikan keturunan. “Bukankah wanita itu dipinang? Jadi tugas wanita apalagi kalau bukan menunggu dan mempersiapkan?”, batinnya selalu berperang melawan persepsi orang tuanya. Lagi pula, seseorang yang jauh entah di mana, masih sanggup menahan kesendirian Karin untuk tidak mengambil sebuah keputusan mutlak itu, keputusan yang akan dijalani seumur hidup sekali.
***

Siang itu usai mengajar, seperti biasa Karin enggan buru-buru pulang ke rumah. Karena masih banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan di laptopnya itu. Fasilitas sekolah di mana Karin mengajar, memang tidak begitu memadai. Bahkan masih banyak kondisi kelas yang kurang nyaman dan layak pakai, dengan jumlah siswa yang banyak, namun hanya sedikit siswa aktifnya. Kebanyakan orang tua dari mereka masih kurang menyadari akan pentingnya pendidikan. Sehingga tak jarang anak didik Karin, saat-saat jam belajar malah sibuk berada di ladang membantu kedua orang tuanya.
Layar laptop  masih terus bekerja. Karin membuka email dari rekan pengajar lain di kota Denpasar. Ketika itu ia mendapat kabar, akan didatangkan lagi seorang pengajar baru asal Jakarta, ia akan menjadi guru Olahraga di sekolah yang Karin tempati.
        Tidak ingin berlama-lama lagi, selesai itu Karin langsung bergegas pulang. Keluar dari ruangan, sebuah mobil jip berwarna merah menyala sudah nangkring di depan sekolah. Seperti mengenalinya, Karin penasaran ingin buru-buru menghampiri. Dia menengok ke dalam mobil, tak ada orangnya. “Seperti mobil Tama, ah masa sih? gak mungkin.”, gumamnya nyaris tak percaya. Tapi plat nomor F semakin meyakininya bahwa kode itu untuk wilayah Bogor.
        Kemudian Karin inisiatif berjalan mencari Tama ke warung kopi yang tak jauh dari sekolahan. Kini ia benar-benar yakin, lelaki itu Tama, sepupu yang menyebalkan namun perhatian. Sebenarnya Tama tidak sungguh menyebalkan, hanya saja ada sedikit jarak yang coba dimatikan oleh Karin. Sesuatu yang enggan dibahasnya, sesuatu yang tak harus dimilikinya, walaupun mungkin diizinkan.
“Tama..” . Pria itu menengok ke belakang, mengikuti sumber suara yang memanggilnya. Suara perempuan dewasa yang hampir beberapa hari ini sulit enyah dari pikirannya. Merasa kehilangan seorang ‘adik perempuan’, teman curhat, dan teman bercanda di rumah, Tama dengan nekat menyusul Karin ke Jambi, dengan niat menemani Karin sampai ia selesai bertugas. “Heeiii Kar! Udah selesai ngetiknya? Lagi banyak kerjaan ya?”
“Hah? Lagi-lagi lo tau kerjaan gue? Kepo banget siih?”,tanya Karin sambil berusaha menyamai tempat duduk bangku panjang dari kayu, bersebelahan dengan Tama. Pertanyaannya itu menjurus kesal, tetap dengan sedikit bumbu candaan ke hadapan wajah Tama.
“Soriya, tadi  gue gak sengaja jalan-jalan deket koridor kelas, terus liat ruangan. Ruang guru ya di situ? Ada lo lagi sibuk sama si laptop tuh..”, sambil mengarahkan mukanya ke arah tas laptop di hadapan meja duduknya. Karin  menggeserkan tas cokelat itu ke samping kiri. Membiarkan ia untuk duduk lebih dekat dengan Tama.
Sambil bertopang dagu, dengan malas Karin menanyakan kedatangan Tama ke tempatnya itu. “Lo ngapain Tam jauh-jauh kesini? Eh, gak ada kerjaan banget tau gak. Emang Bunda tau lo kesini?  ko Bunda ngizinin sih? ih dasar bubun nih..”, Karin mengubah posisi duduknya, sambil mengeluarkan laptop, ia memesan dua cangkir es teh manis, “Bu, tolong ya es teh manisnya dua.”, Karin kembali sibuk membuka email dari laptopnya.
“Kar, ngerjain apa lagi sih? Masih belom tuntas juga? Tama ke sini malah dicuekin?”,sambil coba mencari tahu isi pada layar laptopnya.
“Aah..sana-sanaa.. kepo deh.”, Karin menahan wajah Tama dengan telapak tangannya agar menjauh.
“Oh ya, besok rencananya anak-anak mau gua ajak ke pantai Tam. ikut yuk pasti seru deh.”, ajak Karin.
“Ngapain? Berenang gratis? Haha wah asik dong jalan-jalan ke pantai nya deket.”
“Hah ngarep seneng-seneng? Iya sih kita bakalan seneng-seneng sambil belajar tepatnya. Gue miris banget liat kondisi pantai yang dimana-mana bertebaran sampah. Gue pengen ajak mereka ikutin acara “1 Kantong Seribu Sampah”. Haha jadi perlengkapannya udah pasti lah kantong plastik. Mereka yang bisa ngumpulin sampah paling banyak, dapet reward deh”
“Berarti lo ngajak gue ngambilin sampah?”, pertanyaan itu di jawab semangat oleh Karin dengan anggukan kepalanya sambil tertawa. “Dapet reward gak kalo gue menang? Hehe.”
“Oya Tam, lo belum punya penginapan kan? Nanti gue usul deh ke bude Sum sebelah rumah gue itu. Orangnya baik ko, pasti dibolehin kalo lo tinggal di situ untuk beberapa hari. Selesai tahun baru lo bakal balik lagi ke Bogor kan?”
“Eemm…balik gak yaaah,, hahah gimana nanti deh.”
“Ah rese. Pokoknya gua paketin  ke Bogor lo entar gak mau tau.”
***

       Pagi yang cerah. Angin sejuk di pantai menambah semangat anak-anak Pelita Harapan untuk menjalani aksi “1 Kantong Seribu Sampah”. Mereka senang sekali, karena baru kali ini bisa main dan belajar bersama dengan Bu guru cantik kesayangannya itu, Bu guru Karin.
Seorang murid datang berlari ke hadapan Karin yang sedang sibuk menyiapkan kantong plastik untuk dibagikan, “Bu guru Karin, ada seseorang mencari Ibu. Kelihatannya dia juga sedang mencari alamat. Tuh bu, orangnya di sana..”, tunjuk Ruslan ke arah seorang pemuda yang terlihat agak jauh dari tempat mereka berkumpul. “Tam, coba urus kantong ini dulu ya. Gue ke sana sebentar.”, Karin bergegas menuju arah pemuda yang ditunjuk Ruslan. Dari belakang postur pria itu berdiri, Karin dengan lembut menyapanya, “Pagi. Maaf ya  mas, apakah anda mencari saya?” postur tubuh yang menjulang tinggi , bertubuh agak kurus, dan agak botak  itu mulai menoleh ke belakangnya. Tanpa ragu Karin pun segera menyapa pria itu lagi, pria dengan paras yang dikenalinya lekat setelah tiga tahun menghilang, “Bian?”, tanya nya heran. Pria itu hanya menjawab,“Hai”. Ia masih bingung dan nyaris tak percaya dengan wanita di hadapannya. Seorang wanita yang lama tak dijumpainya. Sosok yang lama hilang dari sebagian ceritanya. Meninggalkan tanya, namun melebur seiring berjalannya waktu yang membiarkan mereka sibuk sendiri-sendiri.
“Lo, Bian kan?”
“Hai, Kar apa kabar?”,pemuda itu masih sedikit ragu menyapa sosok perempuan di hadapannya.
“Baik, ada perlu apa Bi? Jadi sekarang lo tinggal…?”
“Gue sekarang dapet tugas ngajar. Guru olahraga.” ,belum selesai Karin bertanya, Bian sudah lebih dulu menjawab. “Oya,kenal sama guru perempuan yang ngajar di SD Pelita gak? Katanya sih dari daerah Bogor.”
“Haha, Bi, yang lo maksud itu ya gue orangnya. Hahah gak nyangka ya? ah, lo bisa jadi guru juga. Gue kira lo udah sukses ngembangin bisnis ortu lo itu di luar kota. Atau pindah ke Jerman ngelanjutin studi Psikologi dan tinggal sama tante Uni.”
“Hem, iya niatnya sih gitu. Tapi gue memutuskan tetap di Indo. Gue lebih nyaman di sini.”, senyum palsunya seakan menjelaskan. Pria itu hanya menjawab seadanya, memutar otak untuk mencari alasan yang tepat. Ada sedikit yang mengganjal di hatinya, mencoba meneriaki nama seorang wanita yang kini ada di hadapannya. “KARIN!!”
“Eh, yaudah kalo gitu Bi, habis kegiatan selesai, gue bakal anter ke rumah yang bakal jadi tempat tinggal lo selama di sini. Sekarang bantu gue sama yang lain yah?”
“Ngapain Kar?”
“Udah ayo ikut gue aja mending deh.”
Kegiatan sepanjang hari itu berjalan lancar. Setelah lelah menyisiri jalan di tepian pantai dan mengambil tiap sampah yang berserak, mereka pun beristirahat di sebuah pondok dekat perkebunan sawit. Di sana terdapat saung peristirahatan yang nyaman. Anak-anak mengeluarkan bekalnya dan makan bersama. “Karin..! sini cepetan.. mancing ikan nih! Ikan nya besar-besar loh..”, Tama meneriakinya. Tak jauh dari keberadaan Karin, Bian, dan anak-anak yang beristirahat, kebetulan ada tempat pemancingan gratis. Tama yang punya hobi mancing pun, tak segan menjalankan aksinya dengan perlengkapan seadanya yang tertinggal di tempat. Hanya sebuah siasat seorang Tama yang sedang ‘dihantui’ rasa cemburu. Sedari tadi Karin memang lebih memilih sibuk bercengkrama dengan Bian dibanding Tama, bahkan anak-anak pun nyaris terabaikan. Tapi sesekali bu guru cantik itu tetap membimbing murid-muridnya dan  memberikan perhatian.
“Bi, diajak Tama mancing. Yuk, ke sana!”, dengan antusias Karin mengajaknya.
“Eh Kar, gue..em..”
“Udah, buruan.. jangan kebanyakan mikir!”, tanpa segan Karin pun menarik lengan kanan Bian, menggaetnya untuk segera beranjak.
“Anak-anak..ada yang mau ikut mancing? Ayoo mancing bareng om Tama..!”, seru Karin dengan semangat mengajak anak-anak muridnya.
Hari semakin gelap, wajah terang sang langit mulai meredup menutup hari. Peraduan oranye, merah-kejinggaan pun membias tapak-tapak telanjang mereka di pasir pantai, menjejaki pasir putih yang sesekali tergerus buih di lautan.
Dari belakang mereka berjalan, Bian menggendong seorang anak perempuan di punggungnya. Dengan gadis kecil itu, Bian berceloteh hangat, sambil sesekali menatap Karin yang jalan bersebelahan dengan Tama di depannya, sepupu laki-laki yang ia ceritakan sedari perjalanan tadi.
“Karin, mengapa kau terlihat begitu dekat dengan dia? Apakah kalian saling menyukai? Mungkin aku tertinggal jauh selama ini.”, dalam hatinya pria itu menerka sendiri.
***
         Sehari lagi awal tahun itu sudah tak sabar dinanti. Bagi sebagian orang Jambi yang lekat dengan keyakinannya, perayaan tahun baru memang bukan menjadi suatu tradisi. Namun seiring perkembangannya, ada sebagian dari mereka yang enggan lagi memegang kepercayaan itu. Memang ada sebagian yang antusias menyambutnya, namun sebagian lain lebih menyambutnya hangat dengan sebatas rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa. 
      Mendekati hari tahun baru nasional, sekolah pun diliburkan. Walaupun begitu, bu guru Karin tidak akan membiarkan mereka libur tanpa pekerjaan rumah, “Anak-anak, sebentar lagi kita akan menyambut tahun baru. Maka dari itu kegiatan belajar-mengajar pun diliburkan. Ibu berikan tugas kalian, untuk mengarang satu halaman folio penuh. Karangannya menceritakan tentang harapan, mimpi, dan semua keinginan kalian di tahun selanjutnya. Kalian bebas menuliskan apa saja yang kalian impikan.”, kegiatan belajar hari itu pun ditutupnya dengan tugas akhir liburan. Seperti biasa, sepulang mengajar, Tama sudah menjemputnya di depan sekolah. Semakin hari, berada di dekat Tama perasaannya semakin aneh. Seperti ada yang tak harus dirasa, batinnya pun mulai bertanya-tanya apakah ia mulai menyukainya? 
“Hei Karin..!”, teriak Tama melambaikan tangan. “Sejak kapan Tama punya motor vespa?”, batinnya agak aneh. Karin segera menghampiri Tama,  “Tam,vespa dari mana nih?”
“Punya gue laah. Keren kan?”
“Nemu dimana? tukang loak belah mana?”
“Sembarangan lo. Antik tau. Gue beli murah nih, dari suaminya bu Sum. Katanya dia dapet dari kota, dikasih temennya. Masih bagus gini loh, sayang banget yah malah dijual?”, sebuah vespa warna biru elektrik dipamerkan oleh Tama. “Jual butuh kali Tam. Cobain dong..! bonceng gue bisa kali..”
“Wah boleh banget Kar! Ayo silakan naik tuan puteri..”
“Hahah dasar pangeran vespa butut!!”. Sore itu mereka pergi jalan-jalan ke daerah kota, mengunjungi pusat perbelanjaan, membeli berbagai perlengkapan dan kebutuhan pokok. 
Menjelang sore, mereka duduk di depan sebuah café sambil menikmati sekotak eskrim cokelat. Seperti baru menemukan kehidupan, mereka sibuk dengan ponselnya masing-masing. Karin mencek email masuk, “Hah Bian?”, ucapnya kaget dalam hati,”ngapain dia nge-email segala? SMS aja kan bisa..” Karin dengan kilat segera membacanya kemudian me-reply email itu. “Wah, Tam.. Bian ngudang kita ke acara tahun baru nih. Katanya sih, sekalian nyambut kakak pertamanya dia, lulusan S2 Kairo loh. Dateng yuk Taam..temenin please…??”, rengekan  Karin yang mana yang bisa Tama tolak? Walaupun sebenarnya hati Tama berkata lain, mana mungkin ia sanggup mengantar sepupu kesayangannya itu ?  terlebih, sebuah perasaan aneh itu kembali menyelinap, memanasi rongga hatinya, mendegupkan detakan hebat yang tak terkendali. Sesak rasaya. Tama tak pernah mengungkapkannya kepada Karin,  “Aah itu gila! Sebenarnya wajar aja sih kalau gue suka sama Karin, dia cantik, beda dari perempuan lain, istimewa.”, wajah Tama melambung kosong, sibuk berbisik sendiri dalam hati.
“Tam..heeh…! wooy…ko bengong sih?”, tangan Karin melambai-lambai di hadapan Tama yang duduk bersebrangan dengannya. “Eh, gue bengong ya? maksud gue iya Kar, gue pasti anterin lo kesana. Jam berapa emang?”, tanya Tama salah tingkah.
“Katanya sih jam 9 Tam. Harus mau loh yaa.. percuma! Kalo gak mau, biar gue paketin lo ke Bogor! Haha terus lapor deh sama Bunda, kalo pengawal puteri Karin yang bernama Tama, tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Hahah..”, Karin berlagak seperti seorang puteri.
“Yee..dasar! lagian gue juga udah gak betah ko di sini, wle. Gue pasti balik tanpa suruhan lo jelek..yeh!!”, tangkis Tama tak mau kalah omong. “Hehe yaudah dong jangan ditekuk origami begitu lah mukanya. Cakep-cakep ko ambekan.”
“Yaudah, habisin tuh eskrimnya. Nanti keburu cair.”
***
     Jam di kamarnya menunjukkan pukul 19.00. Jarak waktu masih lama menuju pergantian tahun. Dalam hatinya terus berdecak tak sabar, menanti pukul sembilan, menunggu Tama menjeput dengan vespa baru. Karin masih tak percaya. Rencana Tuhan memang sulit ditebak. Perjalanan menuju cinta dan impiannya terlalu berliku. Mungkin lebih tepat dikatakan ini hanya sebuah kebodohannya. Ya, terlalu sibuk menyangkut pautkan cerita kenangan itu dengan pria misterius yang tak pernah berhasil dilepaskan. Seperti hadir keyakinan sendiri, akan menemukan cintnya di tanah Jambi, kota impiannya. Dan di saat yang tepat, sosok itu kembali, ketika satu mimpinya yang lain mulai terwujud. Namun semua itu kembali menyulitkannya. 
     Jarum jam terus berputar tiap detik dan menitnya. Seperti ada lamunan sendiri, kemungkinan Tama tidak jadi datang menjemputnya. Rasa kantuknya yang hebat pun membuat Karin pulas tertidur. “Hah? setengah dua belas?”, Karin terbangun setelah tiga jam berlalu. Ia bingung harus menghubungi Bian bagaimana, karena di tempatnya itu sama sekali tak dapat sinyal. Dengan tampang lusuh, Karin beranjak ke luar rumah. Dilihatnya warung bu Sum masih saja ramai pembeli. Karin memutuskan untuk ke luar malam. “Ndok, tadi ada tamu toh.”, bu Sum menggil Karin dengan suara cukup keras dari dalam warungnya. Lantas ia ke luar, memberitahu Karin siapa yang telah datang barusan. “Ya, bude? Siapa yang datang memangnya?”, tanya Karin penasaran. “Laki-laki sih, tapi bude ndak tau siapa.”
“oya, bude tau mas Tama kemana?”
“wah.. ndak tau yah. Tadi sih memang ke luar, katanya mau ke daerah kota sebentar.”
“o, yaudah bude. Kalo gitu saya keluar dulu ya? mau cari angin, hehe” .Langkahnya mengantarkan ia ke tepian pantai. Sepi, dingin, seperti mengerti. Menyambut kelelahan Karin untuk sejenak menatapi keindahan malam. Ia duduk menyepi dan meresapi suara berisik pantai. Selendang pashima biru tua mendekap lekuk tubuhnya dari belakang punggung. Tiba-tiba seseorang dirasakan hadir. Ia pun segera menoleh ke belakang. “Tama? Lo dari mana?”. “Habis dari kota. Nih gua bawain jagung bakar mentega.”
“wah asiknyaa banyak makanan hehe. ada cemilan lain juga.”
“Kar, gue mau bicarain sesuatu.”, seketika suasana menjadi hening. Tama menghadapkan bahu Karin, merubah posisi duduknya agar berhadapan. Mereka saling pandang, dekat. Sama seperti kebiasaannya saat sesi curhat di kamar. Namun yang ini berbeda. Tidak biasa. “Kar, lo sebenernya ngerasain hal aneh gak sih?, kita itu udah lama bareng-bareng tinggal. Tapi..,”
“Tapi kenapa Tam? emang gue aneh ya?”, Karin berpura-pura tidak mengerti. Dia takut membahasnya. Dia tak mau berkutat dengan penyelesaian itu.
“Entah kenapa gue ngerasa, saat ini lo itu lebih dari sekedar adik buat gue?”
“Hahah ngaco! Lo mabok jagung ya? aduh Tam..tam..”
“Ini serius Kar, tapi gue masih gak ngerti dan gak mau melanjutkan sesuatu itu.” Pembicaraan berubah menjadi semakin serius. “Gue tau ko Tam. Gue juga ngerasa gitu. Tapi..”, Karin menghentikan kata-katanya. “Tapi lo juga sama kan gak mau kayak gini? Lo masih suka sama Bian? Lo masih berangan mimpi tentang dia kan Kar?”, tanya Tama beruntutan.
“Em, gue gak tau Tam. Gue juga gak tau kemana lagi skenario Tuhan ini bawa gue. Gue cuma bisa jalanin. Bahkan hari ini gue gak memenuhi undangan dia.”
“Iya gue tau, gue salah. Gue udah kasih tahu semua ini ke Bian.”
“Ha? Bian? , Bian tau apa aja emang?”
“Gue ketemu sama dia dan sepupunya di alun-alun kota. Gue udah cerita semuanya ko. Lo sama Bian itu emang udah takdirnya bersatu! Gue emang gila. Bisa-bisanya juga nyimpen perasaan ini. tapi yaudalah, semua udah jelas ko.”
“Jelas gimana?”
“Kar..”, tiba-tiba terdengar suara lain dari belakang mereka. “Bian?”, Karin segera berdiri beranjak dari tempatnya. Bian pun mendekati Karin. Di saksikan oleh Tama, dengan penuh keberanian, Bian mengungkapkan semuanya kepada Karin. “Kar, maaf. Mungkin ini terlalu aneh. Tapi lo harus percaya ini nyata. Ini bukan mimpi lagi ko. Gak tau kenapa, gue juga beranggapan sama, bahwa gue akan menemukan seseorang spesial itu di sini. Seorang wanita yang akan menemani gue seumur hidup. Dan orang itu adalah lo.”, Bian mengeluarkan cincin emas putih dari sebuah kotak berwarna silver dan memasangnkannya di jari manis kiri Karin.
Sesaat sebelum detik pergantian tahun, Karin menengok ke belakang. Seakan dia meminta persetujuan dari sepupunya itu. Kemudian Tama mengangguk pasti, tanda menyetujui. Akhirnya Karin pun mengangguk dengan senyum bahagia. Malam itu benar-benar menjadi kado terindah untuk Karin. Lengkap bersama dua lelaki yang disayanginya, ia lekat menatap langit yang berhias warna-warni kembang api menyala. Tak ketinggalan terdengar suara terompet, gema dari sebrang tempat yang menyambut harapan baru.


“Oya, bukannya kamu ulang tahun hari ini? Selamat ulang tahun ya. Selamat tahun baru.

 “Telaaat!”, protes Karin mendorong lengan kirinya, seraya mereka pun tertawa.

“Ternyata Bian masih ingat tanggal ini. Selamat datang awal tahun. Kini aku tahu, sejatinya hati itu melepaskan, membiarkannya. Jika dia baik untukmu, maka dia tentu akan kembali.”, gumam perempuan itu dalam hati.



:: Jumlah : 4000 kata - 10 lbr ::
#Nulis Kilat

Tidak ada komentar:

My inspiration..,

My inspiration..,

Blogger templates

Free Bunny Carrot MySpace Cursors at www.totallyfreecursors.com

Pages - Menu

 

Copyright 2010 Beranda Senja.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.