Langkah penghujung tahun kali ini
terasa berbeda untuknya. Kini ia harus meninggalkan ‘Kota Hujan’ menuju daerah
yang sama sekali belum dikunjunginya. Karina Andi Pramudya, namanya terpilih
seleksi sebagai pengajar muda di kota Jambi. Menjadi pengajar muda dan bertemu
dengan pangerannya di tanah Sumatera begitu terpandang klise. Ya, harapannya
sesuatu itu kelak menjadi kado terindah tepat pada hari ulang tahunnya yang
ke-26, bertepatan akhir tahun.
Semua perlengkapan sudah dikemas dengan baik. Tak ketinggalan dua gadget yang
paling dibutuhkannya, handphone dan laptop. Dua buah benda itu memang tak bisa
lepas dari kebutuhan manusia. Begitupun dengan Karin, dua benda itu akan sangat
membantu dan mempermudah pekerjaannya di sana. Walaupun, entahlah
jaringan sinyal di sana bisa bersahabat baik atau tidak. Oh, ya masih ada
satu barang antik yang selalu jadi teman tengah malamnya, radio mini klasik. Jangan
tanyakan kenapa benda itu tak pernah bisa dijauhkan darinya. Selain karena hobi
mendengarkan radio, sosok pria dibalik benda itu pun masih enggan dilupakan
olehnya. Seseorang yang tinggal membekas di masanya. Pergi menghilang,
menggantungkan tanda tanya yang sulit ditebak. Setelah kenal dekat, mereka
berpisah empat tahun lamanya. Kemudian dipertemukan lagi di fakultas yang sama,
namun akhirnya mereka kembali berpisah. Sepotong cerita di depan sana
mengharuskan mereka untuk memilih jalannya. Walau jarak masih tetap sama,
menumbuhkan arti yang tak biasa, semakin dimatikan, semakin pula ia tumbuh.
Karin tak ingin banyak menduga. Dia sudah cukup lelah. Melepaskan mungkin
jalan yang terbaik.
Derap waktu begitu cepat. Ini merupakan detik yang tak diharap, meresapi
atmosfer kamar serta sejuk udara kota Bogor, dan akan menjadi pertemuan
terakhirnya dengan Tama. Tama itu sepupu sekaligus teman curhat buat Karin. Dia
anak dari kakak laki-laki Tante Dinar, Bundanya Karin. Sudah hampir tiga tahun
ia tinggal bersama keluarga Tante Dinar. Berawal sejak Tante Firda (Ibunya
Tama) pindah ke kota Manado karena penugasan proyek besar suaminya, Om Yulant.
Tante Firda memang selalu ikut kemana suaminya bertugas. Berhubung pula
anak-anaknya sudah cukup dewasa, sehingga Tante Firda lebih leluasa lagi
menitipkan anak bungsunya itu kepada Tante Dinar, adik perempuan Om Yulant.
“Bun,
Karin pergi dulu ya..Maafin Karin harus pergi ninggalin Ayah dan Bunda. Doa’in
Karin ya buun.. biar di sana dipermudah, dilancarkan, dan bisa menebar
manfaat.”, begitu saja kata-kata itu mengalir, terucap seiring anak sungai itu
meleleh, melebur haru bersama kedua orang yang teramat dicintainya itu.
“Ya
geulis, sing bageur, sing cageur atuh lah. Hati-hati ya, jaga kesehatannya.
Bunda yakin kamu bisa membawa kebaikan untuk anak-anak di sana. Tam, antarkan
Karin ya sampai bandara. Kalian baik-baik di jalan.”, pesan Bunda dengan
sedikit dialek sundanya.
“Iya
tan, siap. Karin pasti aman deh. Kan ada Tama, hehe.”, ucapannya seolah
mengunggah ketenangan tante Dinar. “Oke, Kar kita siap berangkat nih?”,
pertanyaan itu hanya dijawabnya dengan senyum yang tak terelakan, namun
tersimpan keyakinan, ia pasti kembali ke Kota Hujan ini dengan selamat dan
kebanggaan untuk orang tuanya.
Selama di perjalanan menuju bandara tak ada yang dikerjakan Karin selain
membaca koran, majalah, dan mendengarkan radio. Perempuan yang satu itu memang
terbilang news papper addict. Semua Koran hasil langganan di rumahnya tidak
pernah dijual ke tukang loak, tetapi ia tumpuk di tempat khusus, dan beberapa
ada yang dijadikan kliping olehnya. Karin tergolong wanita yang cuek, tertutup
akan perasaan, namun sekalinya ia menemukan orang yang tepat, dia tak akan
henti bercerita mengenai masalah pribadinya. Keceriaan sosoknya mampu memesona
pria yang kini duduk di sampingnya. Setelah lama tinggal seatap dengan Karin,
hanya perempuan itu yang dianggap sanggup merebut perhatiannya. Tama memang
tipe cowok yang agak cuek dan dingin. Tapi itu dulu, sejak awal-awal ia datang
ke rumah Karin. Sekarang setelah bertemu dan kenal dekat, Tama pun menjadi
sosok yang hangat. Tingkat kebawelannya pun melebihi dari Karin kalau sedang
bercerita.
“Karin,
lo gak ngantuk? gak capek apa baca terus? mending istirahatin mata tuh,
dari semalem lo begadang kan?, terus baru ketiduran deh tuh jam 3 pagi”
“Hah?
ko tau? lo ngintip yaah?”
“Dih,
enggak. Siapa yang ngintip? Ngapain..lagi, kerajinan! Kamar lo itu kan
sebelahan sama gue, ya kedengeran laah. Lo gak nyadar apa nyetel radio sampe
dini hari, sampe radio soak lo itu menghasilkan suara yang bikin gue susah
tidur. Yauda akhirnya mau gak mau, gue masuk kamar lo. Gue matiin deh si butut
lo itu.”, sebenarnya bukan juga karena terganggu, tapi Tama sedikit kesal harus
mendengar Karin terus lengket sama radio itu.
“Aah
udah diem deh. Mendingan gue tidur, Okeeeey??!”, pungkas Karin menutup
percakapan itu dengan nada kesal, menutup wajahnya dengan majalah kemudian
memutuskan untuk tidur.
Perjalanan
mereka sudah semakin dekat ke bandara, namun Tama singgah sejenak di tempat
peristirahatan untuk makan siang dan membeli minuman. Dia keluar sendirian
tanpa membangunkan perempuan yang duduk di jok depan mobilnya itu. Perempuan
itu kelihatannya pulas sekali, sampai majalah yang dipakai untuk menutupi wajah
kesalnya itu terjatuh, yang kemudian diambil dan disimpan oleh Tama di jok
belakang.
Beberapa menit setelah Tama keluar, Karin pun terbangun. Silau matahari
mengganggu pejaman tidurnya. Dalam keadaan setengah sadar, ia mencoba
mengumpulkan nyawa dan mulai mencari sosok bertubuh atletis dan berkulit hitam
manis yang sepanjang jalan tadi duduk bersebelahan menjadi sopir seharinya. Tak
tahan berlama-lama sendiri di dalam, perempuan itu memutuskan untuk keluar
mencari Tama. Karena bingung, Karin mencoba menelepon Tama untuk menanyakan
keberadaanya. Ia menunggu nomor ponselnya terhubung dengan pria itu.
Mondar-mandir tak jelas ia dibuatnya, nada yang terdengar di seberang sana tak
menandakan sedikit pun bahwa teleponnya tersambungkan.
Dengan memberanikan diri, Karin mencoba berjalan ke arah sebuah rumah makan
yang tak jauh dari parkiran di pom bensin dari tempatnya berdiri. Setelah
mendapati posisi yang nyaman di dalam, Karin pun duduk. Kembali ia menghubungi
Tama lewat SMS.
Tak
lama, sosok pria yang dicarinya itu datang dari belakang menghampiri tempat
duduk Karin. “Heh ngapain lo di sini?”, Tama bertanya tanpa merasa bersalah.
“Hah?
Apa? lo bilang ngapain gue di sini? Gue nyariin lo, puas?!”
“Haha? nyariin? tumben banget.”
“Udah
deh Tam, jangan bikin tambah unmood, eh.. lapeer nih..”, raut marah Karin
seketika berubah manja.
“Hem,
mulai kan giliran ada maunya aja. Tenang, udah dipesenin ko. Makanya gue
sengaja istirahat, gue tau lo udah kelaperan.” Tak lama kemudian seorang pria
lengkap berseragam kaos hijau, celana hitam, bertopi cokelat mengantarkan
makanan, “Permisi mas, mbak, ini pesanannya.”
“Oh,
iya terima kasih mas.”
Tengah
hari itu mereka manfaatkan bersama, sebelum Karin benar-benar pergi ke Jambi.
Mungkin itu makan siang bersama terakhir, lengkap tanpa Ayah dan Bunda.
***
Ini merupakan hari keduanya. Ia ditempatkan di sebuah rumah yang memang
dikhususkan bagi pengajar muda yang tersebar di berbagai pelosok. Mendapati
tugas di Kota Jambi namun terpelosok, dijadikan suatu tantangan baru bagi
wanita usia 25 tahun itu. Sebuah awal yang tidak terlalu buruk tinggal di sana
baginya. Ia tidak perlu repot mencari makanan ketika lapar menyerang
malam-malam, kebetulan tempat tinggalnya bersebelahan dengan rumah seorang Ibu
paruh baya penjual nasi bungkus, namanya Bu Sum. Dia memang bukan penduduk asli
Jambi, ia hanya pendatang dari Jawa Tengah. Karin pun merasa sangat
beruntung. Karena di desa itu sulit sekali mencari warung, kalau pun ada,
mereka yang tinggal di sana harus sabar menempuh jarak yang lumayan jauh,
melintasi sungai perbatasan desa, dan perkebunan.
Sambil mengetik tugas jurnal, Karin coba memutar radio klasik kesayangannya.
Berharap di daerahnya itu, radio mini pemberian Bian bisa menangkap sebuah
saluran gelombang. Di saat begitu, hanya radio klasik itu yang menjadi
satu-satunya benda penghilang rasa jenuh. Jangan berharap lebih untuk bisa
surfing internet, ber-sms ria dengan Ayah, Bunda atau sahabatnya di Bogor.
Untuk memenuhi bahan tugasnya saja, sebisa mungkin Karin manfaatkan waktu
ketika berada di sekolah tempatnya mengajar. Karena di sana daerahnya sudah
agak keluar perkampungan, tepatnya di pinggiran kota, dan di sana jaringan
internet pun sudah terpasang.
Menjalani tugasnya sebagai pengajar di Sekolah Dasar Pelita Harapan 1 Jambi,
membuat ia keasyikan menikmati profesi barunya itu. Pada usianya yang terbilang
lebih dari cukup untuk menikah, namun keputusan perempuan itu berkata lain, ia
lebih memilih untuk terus belajar dan mempersiapkan diri, terutama impiannya
sejak di bangku kuliah bisa menjadi pengajar muda di usia nya yang ke-25. Ayah
sering mengingatkan anak semata wayangnya itu untuk segera menikah. Tapi sisi
cuek Karin seolah mengabaikan kodrat seorang wanita yang menuntutnya untuk
segera menikah, dan memberikan keturunan. “Bukankah wanita itu dipinang? Jadi
tugas wanita apalagi kalau bukan menunggu dan mempersiapkan?”, batinnya selalu
berperang melawan persepsi orang tuanya. Lagi pula, seseorang yang jauh entah
di mana, masih sanggup menahan kesendirian Karin untuk tidak mengambil sebuah
keputusan mutlak itu, keputusan yang akan dijalani seumur hidup sekali.
***
Siang
itu usai mengajar, seperti biasa Karin enggan buru-buru pulang ke rumah. Karena
masih banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan di laptopnya itu. Fasilitas
sekolah di mana Karin mengajar, memang tidak begitu memadai. Bahkan masih
banyak kondisi kelas yang kurang nyaman dan layak pakai, dengan jumlah siswa
yang banyak, namun hanya sedikit siswa aktifnya. Kebanyakan orang tua dari
mereka masih kurang menyadari akan pentingnya pendidikan. Sehingga tak jarang
anak didik Karin, saat-saat jam belajar malah sibuk berada di ladang membantu
kedua orang tuanya.
Layar
laptop masih terus bekerja. Karin membuka email dari rekan pengajar lain
di kota Denpasar. Ketika itu ia mendapat kabar, akan didatangkan lagi seorang
pengajar baru asal Jakarta, ia akan menjadi guru Olahraga di sekolah yang Karin
tempati.
Tidak ingin berlama-lama lagi, selesai itu Karin langsung bergegas pulang.
Keluar dari ruangan, sebuah mobil jip berwarna merah menyala sudah nangkring di
depan sekolah. Seperti mengenalinya, Karin penasaran ingin buru-buru
menghampiri. Dia menengok ke dalam mobil, tak ada orangnya. “Seperti mobil
Tama, ah masa sih? gak mungkin.”, gumamnya nyaris tak percaya. Tapi plat nomor
F semakin meyakininya bahwa kode itu untuk wilayah Bogor.
Kemudian Karin inisiatif berjalan mencari Tama ke warung kopi yang tak jauh
dari sekolahan. Kini ia benar-benar yakin, lelaki itu Tama, sepupu yang
menyebalkan namun perhatian. Sebenarnya Tama tidak sungguh menyebalkan, hanya
saja ada sedikit jarak yang coba dimatikan oleh Karin. Sesuatu yang enggan
dibahasnya, sesuatu yang tak harus dimilikinya, walaupun mungkin diizinkan.
“Tama..”
. Pria itu menengok ke belakang, mengikuti sumber suara yang memanggilnya.
Suara perempuan dewasa yang hampir beberapa hari ini sulit enyah dari
pikirannya. Merasa kehilangan seorang ‘adik perempuan’, teman curhat, dan teman
bercanda di rumah, Tama dengan nekat menyusul Karin ke Jambi, dengan niat
menemani Karin sampai ia selesai bertugas. “Heeiii Kar! Udah selesai ngetiknya?
Lagi banyak kerjaan ya?”
“Hah?
Lagi-lagi lo tau kerjaan gue? Kepo banget siih?”,tanya Karin sambil berusaha
menyamai tempat duduk bangku panjang dari kayu, bersebelahan dengan Tama.
Pertanyaannya itu menjurus kesal, tetap dengan sedikit bumbu candaan ke hadapan
wajah Tama.
“Soriya,
tadi gue gak sengaja jalan-jalan deket koridor kelas, terus liat ruangan.
Ruang guru ya di situ? Ada lo lagi sibuk sama si laptop tuh..”, sambil
mengarahkan mukanya ke arah tas laptop di hadapan meja duduknya. Karin
menggeserkan tas cokelat itu ke samping kiri. Membiarkan ia untuk duduk
lebih dekat dengan Tama.
Sambil
bertopang dagu, dengan malas Karin menanyakan kedatangan Tama ke tempatnya itu.
“Lo ngapain Tam jauh-jauh kesini? Eh, gak ada kerjaan banget tau gak. Emang
Bunda tau lo kesini? ko Bunda ngizinin sih? ih dasar bubun nih..”, Karin
mengubah posisi duduknya, sambil mengeluarkan laptop, ia memesan dua cangkir es
teh manis, “Bu, tolong ya es teh manisnya dua.”, Karin kembali sibuk membuka
email dari laptopnya.
“Kar,
ngerjain apa lagi sih? Masih belom tuntas juga? Tama ke sini malah
dicuekin?”,sambil coba mencari tahu isi pada layar laptopnya.
“Aah..sana-sanaa..
kepo deh.”, Karin menahan wajah Tama dengan telapak tangannya agar menjauh.
“Oh
ya, besok rencananya anak-anak mau gua ajak ke pantai Tam. ikut yuk pasti seru
deh.”, ajak Karin.
“Ngapain?
Berenang gratis? Haha wah asik dong jalan-jalan ke pantai nya deket.”
“Hah
ngarep seneng-seneng? Iya sih kita bakalan seneng-seneng sambil belajar
tepatnya. Gue miris banget liat kondisi pantai yang dimana-mana bertebaran
sampah. Gue pengen ajak mereka ikutin acara “1 Kantong Seribu Sampah”. Haha
jadi perlengkapannya udah pasti lah kantong plastik. Mereka yang bisa ngumpulin
sampah paling banyak, dapet reward deh”
“Berarti
lo ngajak gue ngambilin sampah?”, pertanyaan itu di jawab semangat oleh Karin
dengan anggukan kepalanya sambil tertawa. “Dapet reward gak kalo gue menang?
Hehe.”
“Oya
Tam, lo belum punya penginapan kan? Nanti gue usul deh ke bude Sum sebelah
rumah gue itu. Orangnya baik ko, pasti dibolehin kalo lo tinggal di situ untuk
beberapa hari. Selesai tahun baru lo bakal balik lagi ke Bogor kan?”
“Eemm…balik
gak yaaah,, hahah gimana nanti deh.”
“Ah
rese. Pokoknya gua paketin ke Bogor lo entar gak mau tau.”
***
Pagi yang cerah. Angin sejuk di pantai menambah semangat anak-anak Pelita
Harapan untuk menjalani aksi “1 Kantong Seribu Sampah”. Mereka senang sekali,
karena baru kali ini bisa main dan belajar bersama dengan Bu guru cantik
kesayangannya itu, Bu guru Karin.
Seorang
murid datang berlari ke hadapan Karin yang sedang sibuk menyiapkan kantong
plastik untuk dibagikan, “Bu guru Karin, ada seseorang mencari Ibu.
Kelihatannya dia juga sedang mencari alamat. Tuh bu, orangnya di sana..”,
tunjuk Ruslan ke arah seorang pemuda yang terlihat agak jauh dari tempat mereka
berkumpul. “Tam, coba urus kantong ini dulu ya. Gue ke sana sebentar.”, Karin
bergegas menuju arah pemuda yang ditunjuk Ruslan. Dari belakang postur pria itu
berdiri, Karin dengan lembut menyapanya, “Pagi. Maaf ya mas, apakah anda
mencari saya?” postur tubuh yang menjulang tinggi , bertubuh agak kurus, dan
agak botak itu mulai menoleh ke belakangnya. Tanpa ragu Karin pun segera
menyapa pria itu lagi, pria dengan paras yang dikenalinya lekat setelah tiga
tahun menghilang, “Bian?”, tanya nya heran. Pria itu hanya menjawab,“Hai”. Ia
masih bingung dan nyaris tak percaya dengan wanita di hadapannya. Seorang
wanita yang lama tak dijumpainya. Sosok yang lama hilang dari sebagian
ceritanya. Meninggalkan tanya, namun melebur seiring berjalannya waktu yang
membiarkan mereka sibuk sendiri-sendiri.
“Lo,
Bian kan?”
“Hai,
Kar apa kabar?”,pemuda itu masih sedikit ragu menyapa sosok perempuan di
hadapannya.
“Baik,
ada perlu apa Bi? Jadi sekarang lo tinggal…?”
“Gue
sekarang dapet tugas ngajar. Guru olahraga.” ,belum selesai Karin bertanya,
Bian sudah lebih dulu menjawab. “Oya,kenal sama guru perempuan yang ngajar di
SD Pelita gak? Katanya sih dari daerah Bogor.”
“Haha,
Bi, yang lo maksud itu ya gue orangnya. Hahah gak nyangka ya? ah, lo bisa jadi
guru juga. Gue kira lo udah sukses ngembangin bisnis ortu lo itu di luar kota.
Atau pindah ke Jerman ngelanjutin studi Psikologi dan tinggal sama tante Uni.”
“Hem,
iya niatnya sih gitu. Tapi gue memutuskan tetap di Indo. Gue lebih nyaman di
sini.”, senyum palsunya seakan menjelaskan. Pria itu hanya menjawab seadanya,
memutar otak untuk mencari alasan yang tepat. Ada sedikit yang mengganjal di
hatinya, mencoba meneriaki nama seorang wanita yang kini ada di hadapannya.
“KARIN!!”
“Eh,
yaudah kalo gitu Bi, habis kegiatan selesai, gue bakal anter ke rumah yang
bakal jadi tempat tinggal lo selama di sini. Sekarang bantu gue sama
yang lain yah?”
“Ngapain
Kar?”
“Udah
ayo ikut gue aja mending deh.”
Kegiatan
sepanjang hari itu berjalan lancar. Setelah lelah menyisiri jalan di tepian
pantai dan mengambil tiap sampah yang berserak, mereka pun beristirahat di
sebuah pondok dekat perkebunan sawit. Di sana terdapat saung peristirahatan
yang nyaman. Anak-anak mengeluarkan bekalnya dan makan bersama. “Karin..! sini
cepetan.. mancing ikan nih! Ikan nya besar-besar loh..”, Tama meneriakinya. Tak
jauh dari keberadaan Karin, Bian, dan anak-anak yang beristirahat, kebetulan
ada tempat pemancingan gratis. Tama yang punya hobi mancing pun, tak segan
menjalankan aksinya dengan perlengkapan seadanya yang tertinggal di tempat.
Hanya sebuah siasat seorang Tama yang sedang ‘dihantui’ rasa cemburu. Sedari
tadi Karin memang lebih memilih sibuk bercengkrama dengan Bian dibanding Tama,
bahkan anak-anak pun nyaris terabaikan. Tapi sesekali bu guru cantik itu tetap
membimbing murid-muridnya dan memberikan perhatian.
“Bi,
diajak Tama mancing. Yuk, ke sana!”, dengan antusias Karin mengajaknya.
“Eh
Kar, gue..em..”
“Udah,
buruan.. jangan kebanyakan mikir!”, tanpa segan Karin pun menarik lengan kanan
Bian, menggaetnya untuk segera beranjak.
“Anak-anak..ada
yang mau ikut mancing? Ayoo mancing bareng om Tama..!”, seru Karin dengan
semangat mengajak anak-anak muridnya.
Hari
semakin gelap, wajah terang sang langit mulai meredup menutup hari. Peraduan
oranye, merah-kejinggaan pun membias tapak-tapak telanjang mereka di pasir
pantai, menjejaki pasir putih yang sesekali tergerus buih di lautan.
Dari
belakang mereka berjalan, Bian menggendong seorang anak perempuan di
punggungnya. Dengan gadis kecil itu, Bian berceloteh hangat, sambil sesekali
menatap Karin yang jalan bersebelahan dengan Tama di depannya, sepupu laki-laki
yang ia ceritakan sedari perjalanan tadi.
“Karin,
mengapa kau terlihat begitu dekat dengan dia? Apakah kalian saling menyukai?
Mungkin aku tertinggal jauh selama ini.”, dalam hatinya pria itu menerka
sendiri.
***
Sehari lagi awal tahun itu sudah tak sabar dinanti. Bagi sebagian orang Jambi
yang lekat dengan keyakinannya, perayaan tahun baru memang bukan menjadi suatu
tradisi. Namun seiring perkembangannya, ada sebagian dari mereka yang enggan
lagi memegang kepercayaan itu. Memang ada sebagian yang antusias menyambutnya,
namun sebagian lain lebih menyambutnya hangat dengan sebatas rasa syukur kepada
Yang Maha Kuasa.
Mendekati hari tahun baru nasional, sekolah pun diliburkan. Walaupun begitu, bu
guru Karin tidak akan membiarkan mereka libur tanpa pekerjaan rumah,
“Anak-anak, sebentar lagi kita akan menyambut tahun baru. Maka dari itu
kegiatan belajar-mengajar pun diliburkan. Ibu berikan tugas kalian, untuk
mengarang satu halaman folio penuh. Karangannya menceritakan tentang harapan,
mimpi, dan semua keinginan kalian di tahun selanjutnya. Kalian bebas menuliskan
apa saja yang kalian impikan.”, kegiatan belajar hari itu pun ditutupnya dengan
tugas akhir liburan. Seperti biasa, sepulang mengajar, Tama sudah menjemputnya
di depan sekolah. Semakin hari, berada di dekat Tama perasaannya semakin aneh.
Seperti ada yang tak harus dirasa, batinnya pun mulai bertanya-tanya apakah ia
mulai menyukainya?
“Hei
Karin..!”, teriak Tama melambaikan tangan. “Sejak kapan Tama punya motor
vespa?”, batinnya agak aneh. Karin segera menghampiri Tama, “Tam,vespa
dari mana nih?”
“Punya
gue laah. Keren kan?”
“Nemu
dimana? tukang loak belah mana?”
“Sembarangan
lo. Antik tau. Gue beli murah nih, dari suaminya bu Sum. Katanya dia dapet dari
kota, dikasih temennya. Masih bagus gini loh, sayang banget yah malah dijual?”,
sebuah vespa warna biru elektrik dipamerkan oleh Tama. “Jual butuh kali Tam. Cobain dong..! bonceng gue bisa kali..”
“Wah
boleh banget Kar! Ayo silakan naik tuan puteri..”
“Hahah
dasar pangeran vespa butut!!”. Sore itu mereka pergi jalan-jalan ke daerah
kota, mengunjungi pusat perbelanjaan, membeli berbagai perlengkapan dan
kebutuhan pokok.
Menjelang
sore, mereka duduk di depan sebuah café sambil menikmati sekotak eskrim cokelat.
Seperti baru menemukan kehidupan, mereka sibuk dengan ponselnya masing-masing.
Karin mencek email masuk, “Hah Bian?”, ucapnya kaget dalam
hati,”ngapain dia nge-email segala? SMS aja kan bisa..” Karin dengan kilat
segera membacanya kemudian me-reply email itu. “Wah, Tam.. Bian ngudang kita ke
acara tahun baru nih. Katanya sih, sekalian nyambut kakak pertamanya dia,
lulusan S2 Kairo loh. Dateng yuk Taam..temenin please…??”, rengekan Karin
yang mana yang bisa Tama tolak? Walaupun sebenarnya hati Tama berkata lain,
mana mungkin ia sanggup mengantar sepupu kesayangannya itu ? terlebih,
sebuah perasaan aneh itu kembali menyelinap, memanasi rongga hatinya,
mendegupkan detakan hebat yang tak terkendali. Sesak rasaya. Tama tak pernah
mengungkapkannya kepada Karin, “Aah itu gila! Sebenarnya wajar aja sih
kalau gue suka sama Karin, dia cantik, beda dari perempuan lain, istimewa.”,
wajah Tama melambung kosong, sibuk berbisik sendiri dalam hati.
“Tam..heeh…!
wooy…ko bengong sih?”, tangan Karin melambai-lambai di hadapan Tama yang duduk
bersebrangan dengannya. “Eh, gue bengong ya? maksud gue iya Kar, gue pasti
anterin lo kesana. Jam berapa emang?”, tanya Tama salah tingkah.
“Katanya
sih jam 9 Tam. Harus mau loh yaa.. percuma! Kalo gak mau, biar gue paketin lo
ke Bogor! Haha terus lapor deh sama Bunda, kalo pengawal puteri Karin yang
bernama Tama, tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Hahah..”, Karin berlagak
seperti seorang puteri.
“Yee..dasar!
lagian gue juga udah gak betah ko di sini, wle. Gue pasti balik tanpa suruhan
lo jelek..yeh!!”, tangkis Tama tak mau kalah omong. “Hehe yaudah dong jangan
ditekuk origami begitu lah mukanya. Cakep-cakep ko ambekan.”
“Yaudah,
habisin tuh eskrimnya. Nanti keburu cair.”
***
Jam di kamarnya menunjukkan pukul 19.00. Jarak waktu masih lama menuju
pergantian tahun. Dalam hatinya terus berdecak tak sabar, menanti pukul
sembilan, menunggu Tama menjeput dengan vespa baru. Karin masih tak percaya.
Rencana Tuhan memang sulit ditebak. Perjalanan menuju cinta dan impiannya
terlalu berliku. Mungkin lebih tepat dikatakan ini hanya sebuah kebodohannya.
Ya, terlalu sibuk menyangkut pautkan cerita kenangan itu dengan pria misterius
yang tak pernah berhasil dilepaskan. Seperti hadir keyakinan sendiri, akan
menemukan cintnya di tanah Jambi, kota impiannya. Dan di saat yang tepat, sosok
itu kembali, ketika satu mimpinya yang lain mulai terwujud. Namun semua itu
kembali menyulitkannya.
Jarum jam terus berputar tiap detik dan menitnya. Seperti ada lamunan sendiri,
kemungkinan Tama tidak jadi datang menjemputnya. Rasa kantuknya yang hebat pun
membuat Karin pulas tertidur. “Hah? setengah dua belas?”, Karin terbangun
setelah tiga jam berlalu. Ia bingung harus menghubungi Bian bagaimana, karena
di tempatnya itu sama sekali tak dapat sinyal. Dengan tampang lusuh, Karin
beranjak ke luar rumah. Dilihatnya warung bu Sum masih saja ramai pembeli.
Karin memutuskan untuk ke luar malam. “Ndok, tadi ada tamu toh.”, bu Sum
menggil Karin dengan suara cukup keras dari dalam warungnya. Lantas ia ke luar,
memberitahu Karin siapa yang telah datang barusan. “Ya, bude? Siapa yang datang
memangnya?”, tanya Karin penasaran. “Laki-laki sih, tapi bude ndak tau siapa.”
“oya,
bude tau mas Tama kemana?”
“wah..
ndak tau yah. Tadi sih memang ke luar, katanya mau ke daerah kota sebentar.”
“o,
yaudah bude. Kalo gitu saya keluar dulu ya? mau cari angin, hehe” .Langkahnya
mengantarkan ia ke tepian pantai. Sepi, dingin, seperti mengerti. Menyambut
kelelahan Karin untuk sejenak menatapi keindahan malam. Ia duduk menyepi dan
meresapi suara berisik pantai. Selendang pashima biru tua mendekap lekuk
tubuhnya dari belakang punggung. Tiba-tiba seseorang dirasakan hadir. Ia pun
segera menoleh ke belakang. “Tama? Lo dari mana?”. “Habis dari kota. Nih gua
bawain jagung bakar mentega.”
“wah
asiknyaa banyak makanan hehe. ada cemilan lain juga.”
“Kar,
gue mau bicarain sesuatu.”, seketika suasana menjadi hening. Tama menghadapkan
bahu Karin, merubah posisi duduknya agar berhadapan. Mereka saling pandang,
dekat. Sama seperti kebiasaannya saat sesi curhat di kamar. Namun yang ini
berbeda. Tidak biasa. “Kar, lo sebenernya ngerasain hal aneh gak sih?, kita itu
udah lama bareng-bareng tinggal. Tapi..,”
“Tapi
kenapa Tam? emang gue aneh ya?”, Karin berpura-pura tidak mengerti. Dia takut
membahasnya. Dia tak mau berkutat dengan penyelesaian itu.
“Entah
kenapa gue ngerasa, saat ini lo itu lebih dari sekedar adik buat gue?”
“Hahah
ngaco! Lo mabok jagung ya? aduh Tam..tam..”
“Ini
serius Kar, tapi gue masih gak ngerti dan gak mau melanjutkan sesuatu itu.”
Pembicaraan berubah menjadi semakin serius. “Gue tau ko Tam. Gue juga ngerasa
gitu. Tapi..”, Karin menghentikan kata-katanya. “Tapi lo juga sama kan gak mau
kayak gini? Lo masih suka sama Bian? Lo masih berangan mimpi tentang dia kan Kar?”,
tanya Tama beruntutan.
“Em,
gue gak tau Tam. Gue juga gak tau kemana lagi skenario Tuhan ini bawa gue. Gue
cuma bisa jalanin. Bahkan hari ini gue gak memenuhi undangan dia.”
“Iya
gue tau, gue salah. Gue udah kasih tahu semua ini ke Bian.”
“Ha?
Bian? , Bian tau apa aja emang?”
“Gue
ketemu sama dia dan sepupunya di alun-alun kota. Gue udah cerita semuanya ko.
Lo sama Bian itu emang udah takdirnya bersatu! Gue emang gila. Bisa-bisanya
juga nyimpen perasaan ini. tapi yaudalah, semua udah jelas ko.”
“Jelas
gimana?”
“Kar..”,
tiba-tiba terdengar suara lain dari belakang mereka. “Bian?”, Karin segera
berdiri beranjak dari tempatnya. Bian pun mendekati Karin. Di saksikan oleh
Tama, dengan penuh keberanian, Bian mengungkapkan semuanya kepada Karin. “Kar,
maaf. Mungkin ini terlalu aneh. Tapi lo harus percaya ini nyata. Ini bukan
mimpi lagi ko. Gak tau kenapa, gue juga beranggapan sama, bahwa gue akan
menemukan seseorang spesial itu di sini. Seorang wanita yang akan menemani gue
seumur hidup. Dan orang itu adalah lo.”, Bian mengeluarkan cincin emas putih
dari sebuah kotak berwarna silver dan memasangnkannya di jari manis kiri Karin.
Sesaat
sebelum detik pergantian tahun, Karin menengok ke belakang. Seakan dia meminta
persetujuan dari sepupunya itu. Kemudian Tama mengangguk pasti, tanda
menyetujui. Akhirnya Karin pun mengangguk dengan senyum bahagia. Malam itu
benar-benar menjadi kado terindah untuk Karin. Lengkap bersama dua lelaki yang
disayanginya, ia lekat menatap langit yang berhias warna-warni kembang api
menyala. Tak ketinggalan terdengar suara terompet, gema dari sebrang tempat
yang menyambut harapan baru.
“Oya, bukannya kamu ulang tahun hari ini? Selamat ulang tahun ya. Selamat tahun baru.”
“Telaaat!”, protes Karin mendorong lengan kirinya, seraya mereka pun tertawa.
“Oya, bukannya kamu ulang tahun hari ini? Selamat ulang tahun ya. Selamat tahun baru.”
“Telaaat!”, protes Karin mendorong lengan kirinya, seraya mereka pun tertawa.
“Ternyata
Bian masih ingat tanggal ini. Selamat datang awal tahun. Kini aku tahu,
sejatinya hati itu melepaskan, membiarkannya. Jika dia baik untukmu, maka dia
tentu akan kembali.”, gumam perempuan
itu dalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar