Rasanya
baru saja kemarin, membenamkan diri dalam senja di mana matahari saat
itu sama-sama tenggelam. Berdiri melihat bibit dandelion itu
beterbangan, hilang, dengan angin yang sama gusar. Menyerta harap yang
kelak akan kutemukan di penghujung pagi.
Rasanya baru saja kemarin, temaram gelap berakhir. Karena sinar
pagi tak sabar meminta menghiasi sudut langit biru, yang pun aku tak
sabar untuk melihat kapas-kapasnya beriring memayung teduh bibit-bibit
bunga itu. Di tempat yang entah. Mereka dapati tumbuh dan mekar, atau
justru mati dalam perjalanan bersama angin. Ya, mati sebelum aku bisa
merawatnya utuh. Harum, dalam doa yang terpanjatkan setiap pergantian
hari. Itu dirimu, Pagi.
Namun Pagi hanya sekadar rencana, yang lagi-lagi pertemuannya seperti peluang angka dadu yang hendak keluar. Tidak tertebak.
Kini, aku mengutarakan kediaman yang juga entah. Berjarak darimu, tapi sejatinya berteduh dalam kemah yang sama.
Suatu hari, yang kelak menjadikan aku menemukan bunga itu bersemi. Menyapaku, dalam pagi.
Belitung, dalam jarak.
Basah di antara dinding kerinduan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar