“Selamat Pagi..”
Sapaan di pagi berkabut itu rupanya
tak mengandung ‘atmosfer’ lebih untuk dapat membangunkanmu dari tidur. Bagaimana
bisa? Hah, mungkin saja, ia yang berucap menyapamu itu pun sedang tertidur. Jadi
bagaimana bisa ia membuka ikatan pejammu?
Meresapi kata pagi, harusnya sambutan
itu dapat menyemangatimu, membantumu berkali lipat bangkit dari lelap untuk
lekas menggerak pena. Namun nyatanya,
pagiku di sini belum secerah yang kau kira, pagi berkabut yang aku sendiri tak
mampu melihat bayanganku. Tentu, aku tetap akan menunggumu dan bertahan melawan
keangkuhan diri. Maka pantas, bila keberadaanku belum serta merta penuh menerangi
perjalananmu.
Mungkin, hanya sebatang lilin yang
saat ini mampu kuberikan. Dengan harap serta doa yang akan memudahkanmu dan
menuntunmu untuk melangkah, ke sini. Aku tahu itu tak mudah. Kau memang harus
melewati setahap demi setahap menempuh jalanan berbatu itu. Kita ditempatkan
pada medan berbeda, tapi memiliki muatan hambatan yang sama. Tentu sesuai yang
dipercayakan olehNya. Ya, karena aku pun sedang berusaha menanjakinya. Dengan
sesekali menghadap ke arahmu, sudah seberapa jauh kau melewati itu.
Jika aku sedang lengah, bukan berarti
aku mengabaikanmu. Aku hanya butuh sedikit ruang, untuk bisa mengerti dan pelajari
itu. Jika aku tak dapat memaknai ‘diri sendiri’, lalu bagaimana bisa aku bantu
memaknaimu?
Mungkin saat ini kita sedang berada
di titik yang sama. Mungkin kita butuh terlebih dulu sedikit jarak, untuk dapat
bertanya dan berbicara pada diri sendiri (terkhusus aku-red). Sebelum akhirnya mempertemukan dua cabang
pikir yang berbeda. Sebelum akhirnya benar-benar saling mengganti dan menggenapi keping yang hilang.
Jangan pernah lelah menghadapi titik pasif itu. Karena aku tahu, betapapun
rumit dan sulit, kita akan tetap butuh ‘seiring’ untuk bertemu pada akhir yang
sama.
Teruslah bergerak, temukan ia dalam dirimu.
Begitupun aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar