Sinar matahari, menghangatkan pagi di antara mekar dandelion |
“Teras pagiku kini tersapa oleh tumbuhnya bibit
dandelion itu. Lama ia berkenala,
menghabisi perjalanannya menuju terang. Pandangku mengerling diam, kemudian terkesiap
dalam lamunan. Ah, ya.. selamat pagi, Dandelion. Kau baru saja bertemu,
mataharimu..”
Sejak ‘kemarin’,
mereka telah berlelah-lelah berkelana lepas bersama angin. Tersapu di udara
bebas, beranjak kepada suatu tempat baru yang dikehendaki. Sampailah
bibit-bibit itu di pelataran ‘rumahnya’. Tersemai dengan penuh pengawasan Sang
Pencipta. Bertumbuh walau tak pernah manusia memintanya untuk hadir memesona. Hingga
semesta menyambut benih itu dalam mekar kuning yang tampak biasa, tetapi
sebenarnya mereka sudah melalui perjalanan yang luar biasa. Aku menyukainya, si
cantik yang tak pantang arah.
Aku pun
menikmati paparan cahaya yang terpantul masuk ke dalam jendela kaca. Membuat
ingin segera beranjak dari tempat tidur, melirik ke pemandangan di luar sana. “Lihatlah,
dandelion kecil mulai tumbuh menghias taman,” simpul senyum turut menghias
wajah kala itu.
Menggugahmu
dalam bahagia, kini serupa ketika aku mendapati bibit itu bermekar di kebun depan
halaman rumah. Mungkin tak banyak pengutaraan, cukup satu makna yang tersimpan
dalam-dalam.
“Tenang.”
Setiap rusuk
yang diciptakan ialah memiliki pasangan. Setiap makhluk yang hidup, tumbuh dan
besar atas kasih sayang. Tak terkecuali, cinta. Cinta Allah yang senantiasa
menetap, tak pernah berpaling. Membimbing insan yang dicintainya agar terus
mendekat hingga sampai kepada yang MahaRahman dan Rahim.
Setiap
langkah dalam hari-hari ialah bernilai ibadah, jika saja kau bersedia menjalani itu
karenaNya. Setiap napas yang terhirup cuma-cuma mengingatkan akan nadi dan
detak yang terus bermunanjat serta berdzikir kepadaNya, bahwa kelanjutan dari
esok tiada pernah ditahu. Tak terkecuali setiap deraian air mata yang bergejolak
penuh bercucur di hadapanNya, “Ya, izinkan kami untuk senantiasa meniti
skenario ini, dalam ridhoMu. Dalam getir dan pahit, serta manis yang tak luput berseling
masam.”
Namun
rasanya, bukan mustahil jika pahit hari itu tercecap sama manis, ketika dihadapkan
pada 'dua' yang saling bahu membahu beriringan. Karena mereka merupa sehelai
pakaian, yang akan saling melindungi, membuat aman serta nyaman bagi keduanya.
Di antara doa malam dan sujud pagi itu, mungkin senyumku mulai membias haru. Perjalanan senja bersama
embus angin perlahan menepi, menuju suatu pagi.
Pada itu, kau kan temukan sepasang
yang penuh bertatap manja, dengan dua cangkir teh hangat di beranda. Isyaratkan
peluk, pada kedua bahu yang bersandar lekat nostalgia cerita.
“Aku tahu
kamu dekat. Aku tahu itu kamu, yang aku pun selalu sama ‘merasakannya’.
Bersabarlah, untuk kelak bertemu pada pagi yang dirindukan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar